Sabtu, 22 Mei 2010
Dilema antara dua kata, lembah dan gunung!
Gunung, ia memang elok. Kita melihatnya demikian bukan? Dari posisi kita yang rendah, kita bisa dengan mudah melihatnya, takjub. Kita pun berkhayal asal, “Betapa menyenangkannya menjadi sebuah gunung. Punya ketinggian, kokoh, besar sekaligus jadi pusat perhatian oleh berjuta pasang orang.”
Tetapi tidak, ada sesuatu yang riskan andaikan kita sebuah gunung. Lihat!
Saat kita diam, lembah-lembah yang berada di bawah kontan menuduh kita angkuh! Kita disebut sebagai orang yang congkak, sombong lagi merendahkan para lembah karena ketinggian dan kekokohan kita.
Padahal, kita diam, tak menyapa, karena kita takut, kita salah menyapa. Kita juga takut, sapaan kita justru akan mengganggu mereka. Seperti ketika kita akan menyapa mereka dengan muntahan abu vulkanik. Oh, tragis! Sapaan kita justru diartikan sebagai sebuah kemudharatan. Bahkan, terang-terangan kita diberi status, “Waspada, Siaga hingga Awas! (untuk dijauhi)” Kitapun menjadi bahan pergunjingan di media massa, tiada henti.
Merupakan kesalahankah jika sapaan kita berupa muntahan abu vulkanik? Padahal hanya inilah, kita bisa menyapa mereka, dengan mengandung manfaat di kemudian hari.
Kita mencoba mencari cara lain untuk menyapa mereka. Kita berniat untuk menyapa lembah dengan longsoran tanah dari bagian kita. Oh, malang! Sapaan kita justru menjadikan bencana bagi mereka. Padahal, kita hanya berniat untuk menyatu dengan mereka.
Bagaimana ini? Padahal kita selalu berpikir, kita sama dengan mereka, sama-sama sebuah lembah. Hanya pandangan mereka yang melihat, seolah kita adalah gunung.
Oh, yah! Kita harus melakukan penyamaran! Bagaimana jika kita meletakkan kata yang biasa mengiringi gunung? Yah, kita biasa menaiki gunung. Bagaimana jika kata “naek” diketemukan dengan “lembah”, seperti halnya penyamaran yang akan kita lakukan?
Oh, tidak! Para lembah dan gunung salah mengartikan. Mereka langsung protes habis-habisan. Bahkan, kita disebut sebagai sosok yang aneh, dungu (karena pernyanaan mereka yang menyebut kita tak tahu jika lembah hanya bisa dituruni) atau bahkan kita terlalu mengada-ada (bermimpi yang tidak mungkin menjadi kenyataan).
Padahal, tidak! Kita tak bermaksud demikian. Kita juga tak pernah bermimpi untuk mengubah sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Menaiki lembah sungguh tidak mungkin. Meski sebagian dari mereka, menaiki lembah itu adalah mungkin (jika sebelumnya menuruni lembah, lalu kita naik ke atas lagi).
Tidak! Apapun yang terjadi, lembah yang curam tak mungkin kita naiki. Meski kita harus menaiki di bagian yang masih disebut lembah, ini bukan lantas kita menaiki lembah. Kita hanya menaiki sebuah tempat yang lebih tinggi.
Lalu apa sebetulnya maksud kita? Ini tak lain karena dilema dua kata diatas, lembah dan gunung! Inilah yang menjadi masalah besar dari persangkaan para lembah dan gunung yang salah menyana. Jika kita mengenal dua kata yang bernada dan berhuruf sama, namun berarti lain, inilah yang sesungguhnya kita usung. Bernada dan (mungkin) berhuruf sama, tapi berbeda makna.
Semoga dari kisah kiasan ini, akan menjadikan kita lebih bijak lagi, kawan. Kisah kiasan diatas sudah pasti banyak kita jumpai di dunia nyata. Inilah kebanyakan manusia, termasuk saya, dan kalian semua, banyak ditipu oleh ‘penglihatan sepintas’ tanpa meninjaunya. Semoga bermanfaat.
*SEJUMPUT DARI SEGUDANG NAMA (YANG KATANYA) ANEH INI. :)
Share
Sabtu, 01 Mei 2010
Ujian Kesabaran, Ibarat Menanti Hujan Reda
Di saat menanti hujan reda, apa yang biasa dirasakan orang? Terasa lama? Mungkin. Hujan mengguyur selama tiga puluh menit saja serasa tiga puluh jam lamanya atau mungkin malah lebih. Inilah rasanya ujian kesabaran itu.
Banyak orang mengatakan, kesabaran ada batasnya. Bila ujian kesabaran diibaratkan dengan menanti hujan reda, apakah orang akan menumpahkan kekesalan itu pada rintik-rintik air hujan yang tengah menerpa bumi? Sedang hujan hanyalah merupakan makhluk ‘pendiam’ yang tidak akan mungkin menghiraukan rintihan kekesalan orang. Ia mengguyur ke bumi atas perintah-Nya. Tak peduli orang mengeluh kesal kepadanya, atau bahkan memaki akan kedatangannya yang tak kunjung pergi.
Sayangnya, hujan terlalu biasa untuk dikeluhkan orang. Di awal kedatangannya, orang akan nyeletuk berujar, “Yah… hujan deh!” Disadari atau tidak, kalimat pertama yang muncul ini sudah menunjukkan betapa awal ujian kesabaran itu sudah terpatahkan oleh rasa tidak bersyukurnya akan turunnya nikmat hujan.
Belum lagi di benaknya masih membayangkan bagaimana nasib jemuran bajunya di rumah. Sudah pasti akan basah kuyub, setelah sebelumnya tak sempat ‘diselamatkan’ dari guyuran air hujan. Terbetik pula bagaimana nasib kendaraannya yang berkilau lantaran baru dicuci kemarin sore, lagi-lagi harus terkena cipratan air hujan yang bercampur tanah. Al hasil, kotorlah sudah.
Ini baru contoh sederhana, belum contoh-contoh lain yang amat menguji kesabaran. Misalnya ketika urusan duniawi yang menurutnya sangat urgen untuk segera dikerjakan, namun terpaksa harus tertunda lantaran hujan.
Di saat air hujan semakin deras mengguyur, tak kunjung reda, saat inilah kesabaran orang benar-benar berada di titik kulminasi. Terbayang di benaknya, berapa kerugian yang didapat karena urusan duniawinya banyak yang terbengkalai. Saat itu juga, emosi kian tak terbendung. Umpatan-umpatan kekesalan pun keluar dari mulutnya. Dihardiklah hujan, sebagai pelampiasan kekesalan, seolah hujan adalah makhluk serupa dengannya.
“Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.”(QS Al A’raaf 57)
Hujan diturunkan sebagai pembawa berita gembira, namun yang terjadi justru malah sebaliknya. Orang malah berkeluh kesah dengan hadirnya hujan. Tak ada sedikit rona bahagia di rautnya lantaran datangnya hujan tengah menghambat urusan duniawinya. Tidak tahukah orang, untuk apa hujan diturunkan?
“Dan Allah menurunkan dari langit air (hujan) dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang mendengarkan (pelajaran).” (QS An-Nahl 65)
Bayangkan jika hujan tidak diturunkan ke bumi, tidak akan mungkin ada kehidupan di sini. Bumi akan mengering, dan semua makhluk hidup akan mati. Dalam ayat lain Allah juga berfirman.
“Dia-lah, Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu.” (QS An-Nahl 10)
Hujan yang membawa berkah, menghidupkan serta menyuburkan tanaman-tanaman yang hijau lagi banyak buahnya. Inilah ibarat ujian kesabaran itu, layaknya menanti hujan reda. Menanti memerlukan kesabaran yang teramat berat, terlebih ketika harus merelakan hal-hal yang menyangkut duniawi.
Hujan yang dinyana sebagai penghambat pada urusan duniawi, sesungguhnya merupakan berkah dari-Nya. Kehadirannya akan menghijaukan tanaman hingga menghasilkan buah yang ranum, menghasilkan mata air yang jernih yang sangat bermanfaat bagi semua makhluk yang hidup di bumi ini.
Demikian halnya dengan ujian kesabaran itu. Meski dinyana sebagai sesuatu yang pahit dirasa, atau bahkan berat didaki, namun sesungguhnya Allah akan menghadiahi surga bagi para hamba-Nya yang sabar.
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (QS Ali Imran 142)
Ujian dari Allah tak hanya berupa kesedihan, tapi juga mencakup kebahagiaan. Sayangnya, ketika orang diuji dengan kebahagiaan, orang lupa jika itu hanyalah sebuah ujian. Ketika mendapat kebahagiaan, orang malah berpikir bahwa itu adalah keberuntungan. Padahal, keberuntungan di dunia ini hanyalah merupakan tipuan.
“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS Al Hadiid 23)
Seperti halnya ketika menanti hujan reda. Meski hujan mengguyur deras, tak kunjung reda, hingga menyebabkan banjir, tanah longsor ataupun bencana lainnya, kesabaran haruslah selalu ada pada jiwa tiap-tiap orang yang beriman. Bagaimanapun hujan adalah berkah dari-Nya, meski kehadirannya terkadang mendatangkan bencana, namun ini hanyalah ujian bagi para hamba-Nya agar bersyukur.
“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.” (QS An-Nisaa’ 147)
Maka bersabarlah, karena Allah beserta orang-orang yang sabar. Ujian kesabaran itu ibarat menanti hujan reda. Terasa lama untuk dinanti redanya, hingga terpikir bahwa hujan hanyalah penghambat yang banyak memberi mudharat pada urusan duniawi.
Namun, tidak bagi orang-orang yang bersabar. Ia akan memaknai hujan sebagai berkah dari-Nya, berapapun lamanya dan banyaknya curah hujan yang diturunkan. Sekalipun mendatangkan bencana, maka ia akan tetap bersabar, karena di balik ujian pastilah mengandung hikmah.
Dan semestinyalah, orang-orang yang beriman akan mengambil hikmah di balik cobaan itu. Ia akan senantiasa bersabar dan bersyukur di kala sedih ataupun bahagia. Karena segala sesuatu di dunia ini hanyalah merupakan ujian dari-Nya, agar nyatalah siapa sesungguhnya hamba-hamba-Nya yang terpilih itu. [ntz]
Share
Langganan:
Postingan (Atom)