.::. Assalamu'alaikum yaa akhii, yaa ukhtii... Syukron atas kunjungannya...::. "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS Ali Imran 102)" .::. "Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui." QS Shaaff 10-11) .::. "Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas." (Qs Al Baqarah 212) .::.

Senin, 16 Januari 2012

Ragu Menikah karena Finansialnya Belum Siap?

Masih ragu untuk menikah? Alasannya karena belum siap dalam hal finansial? Inilah yang seringkali mendera para lajang mengapa masih menunda-nunda untuk menjalankan sunnah Rasul ini. Bagi ikhwan, kesiapan finansial selalu menjadi hal yang sangat perlu dipertimbangkan sebelum benar-benar mantap mengakhiri masa lajang. Pasalnya, ia-lah yang nanti bertanggungjawab memberikan nafkah bagi istri dan anak-anaknya kelak.

Kesiapan finansial rupanya juga mempengaruhi kondisi psikis si ikhwan ketika hendak meminang sang bidadari. Kekhawatiran pun muncul jika nanti orangtua si gadis sampai bertanya, “Kerjanya dimana? Gajinya sebulan berapa?” Sementara kerja masih serabutan. Penghasilan selama sebulan juga tak seberapa. Bagaimana jika ditolak? Terlebih, saat tahu bahwa keluarga sang bidadari ternyata merupakan keluarga berada.

Karena merasa belum siap dalam hal finansial, banyak para ikhwan mengundur-undur waktu untuk melamar sang bidadari yang memikat hatinya tersebut. Alhasil, banyak pula mereka yang akhirnya patah hati karena sang bidadari sudah keburu dilamar oleh ikhwan lain. Ada juga yang sampai menyesal kenapa tak kunjung melamar sang bidadari, karena ternyata si ikhwan yang dipilih sang bidadari tersebut nasibnya tak jauh beda dengannya: masih kerja serabutan dengan penghasilan yang tak seberapa pula.

Alasan kesiapan finansial memang selalu dijadikan indikator utama ketika seseorang hendak memutuskan untuk menikah. Yang jadi pertanyaan kemudian, seberapa besar ukuran “siap” dalam sisi keuangan bagi seseorang untuk segera menikah? Apakah harus sudah bekerja dengan gaji tetap sekian juta per bulannya, punya tabungan yang cukup untuk modal nikah (seperti memberi mahar, biaya resepsi pernikahan dan lain-lain), rumah lengkap dengan perabotnya, kendaraan dan sebagainya?

Menikah, Harus Sudah Bekerja?

Sebetulnya, sudah bekerja atau belum bekerja, jika memang sudah siap silahkan saja menikah. Dalam agama, tidak ada aturan yang mengatur bahwa: kalau menikah berarti harus sudah bekerja. Kata kuncinya bukan sudah bekerja atau belum, melainkan adalah sudah siap menanggung beban nafkah keluarga setelah menikah nanti. Ini karena memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya menjadi kewajiban suami dalam rumah tangga.

Lalu bagaimana caranya bisa menanggung nafkah kalau belum bekerja? Perlu dicatat sobat muda, yang diperlukan menanggung nafkah bukanlah pekerjaan, melainkan penghasilan. Untuk membedakan antara bekerja dengan berpenghasilan ini, kita lihat pada contoh berikut.
“Dengan bekal pendidikan yang tinggi, Budi memiliki pekerjaan yang cukup baik. Sayangnya, nasib keuangannya buruk. Hutangnya juga menumpuk disana-sini. Bukan karena gajinya yang tidak cukup karena harus menanggung beban nafkah orang lain, tetapi lebih karena gaya hidupnya yang boros. Akibatnya, gaji yang diterima setiap akhir bulan sudah habis sebelum tanggal gajian berikutnya tiba.

Sementara Doni baru saja menyelesaikan kuliah S1-nya dan berniat untuk langsung meneruskan ke jenjang S2. Beasiswa yang diterimanya dari “Yayasan Ayah Bunda” alias orangtuanya sendiri meliputi biaya kuliah dan biaya hidup sampai selesai S2. Demikian halnya dengan Catur, seorang mahasiswa tingkat akhir yang belum lama ini kehilangan kedua orangtuanya dalam sebuah kecelakaan. Tapi ternyata ia tidak hidup dalam kesusahan. Memang tidak terlalu besar, namun sebagai anak tunggal, kedua orangtuanya meninggalkan warisan dan manfaat asuransi yang lebih dari cukup untuk menyelesaikan kuliahnya dan biaya hidup beberapa tahun setelah itu.”

Nah, sudah jelas bukan? Bekerja tidak berarti segala kebutuhan hidup kita terjamin. Sebaliknya, jika kita tidak bekerja, bukan berarti pula tidak punya penghasilan. Kesimpulannya, indikasi utama adalah adanya kemampuan seorang ikhwan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jalannya bisa melalui penghasilan dari bekerja, usaha yang diturunkan kepadanya, atau peninggalan orangtua. Ini sah saja selama tidak merugikan pihak lain.

Mapan Dulu Baru Menikah atau Menikah agar Mapan?

Ya, kemapanan seringkali merupakan salah satu pertimbangan para lajang untuk menikah. Tidak sedikit dari mereka yang memilih menunda untuk menikah jika belum mapan dari sisi keuangan. Ada saja ikhwan yang tidak mau melamar akhwat sebelum ia punya rumah sendiri atau memiliki karier yang mapan di perusahaan. Begitu juga akhwat, beberapa dari mereka lebih berharap yang datang melamar adalah ikhwan yang sudah “jadi”, apalagi jika ia sendiri sudah cukup matang dari segi finansial.

Jika sobat muda juga berpikir seperti ini, ketahuilah bahwa menunggu kemapanan ekonomi untuk menikah (atau dinikahi) ibarat seperti naik helikopter dan ingin langsung melihat pemandangan tanpa melalui susah payahnya mendaki gunung. Tentu rasanya berbeda menikmati pemandangan dengan mendaki gunung terlebih dahulu. Ketika kita harus jalan kaki naik gunung dengan susah payah, maka perasaan saat melihat pemandangan tersebut akan sangat berbeda bila dibandingkan dengan melihatnya langsung dari helikopter. Yang membuatnya berbeda bukan kualitas gambar pemandangan yang dihasilkan mata, melainkan pada proses pencapaiannya.

Ada proses yang mesti dijalani terlebih dahulu, yang tentu menambah keindahan yang kita peroleh setelah berusaha. Begitu juga akan berbeda rasanya ketika kita langsung melihat pemandangannya tanpa bersusah payah dahulu untuk mendaki gunung. Pemandangan yang dilihat memang sama, tetapi perasaannya akan berbeda karena prosesnya yang berbeda.

Begitu pula dengan proses pernikahan. Perasaannya akan jauh berbeda jika kita dan pasangan kita berjuang bersama dari titik nol menuju titik kesuksesan daripada kita mengajak pasangan kita untuk langsung berada di titik kemapanan. Sebagian para ikhwan berpendapat, mereka tidak ingin mengajak pasangannya sengsara. Biarlah mereka saja yang melalui sulitnya menuju kemapanan, dan nantinya mereka akan mengajak calon pasangan hidup mereka untuk berumah tangga setelah mereka sudah mapan agar pasangannya kelak tidak perlu merasakan kesulitan dan susah payahnya mencapai kesuksesan itu.

Diakui atau tidak, ini sekadar pembenaran saja dari ketakutan para lajang dalam menghadapi cobaan (berdua). Mereka mungkin hanya tidak ingin terlihat ketika sedang gagal, mereka hanya ingin terlihat sudah berhasil.

Antara Ragu, Nekat, Berani dan Tawakal

Untuk yang masih ragu menikah hanya karena alasan finansial semata, ketahuilah bahwa Allah SWT berfirman yang artinya, “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” [QS. An-Nuur [24] : 32] Jangan karena merasa miskin, maka kita takut untuk menikah. Ingat, janji Allah itu pasti, bahwa Allah akan memampukan dengan karunia-Nya.

Lalu bagaimana dengan nekat, berani dan tawakal sendiri? Terkadang, antara berani dan nekat perbedaannya memang sangat tipis sekali. Dikatakan berani jika melakukan sesuatu yang luar biasa dengan persiapan dan perencanaan yang matang. Sedangkan nekat adalah melakukan sesuatu tanpa persiapan sama sekali. Jika seseorang akan melompat dari jembatan dengan tali bunjee dan sudah diukur secara cermat serta diawasi para ahli, maka itu dikatakan berani. Tapi kalau ada yang hendak lompat dari jempatan dengan mengikat pada tali seadanya, tanpa pengetahuan teknis yang memadai, itulah yang dikatakan nekat.

Dari dua pengertian tadi, tampaklah bahwa berani itu mengandung makna positif, sedangkan nekat bermakna negatif. Namun, berani saja belum tentu benar. Karena yang dimaksud berani ini belum tentu bertawakal. Orang yang berani—dengan segala persiapan dan kesiapan professional—belum tentu bisa dikatakan sebagai orang yang bertawakal dan pasrah atas ketentuan Allah. Bisa jadi ia banyak latihan, bisa jadi pula ia punya perangkat pengamanan yang memadai. Tapi saat mentalnya mengatakan, kalau memang sudah waktunya mati ya mati saja, orang ini hanya berani hidup, tetapi tidak berani mati.

Ia bukannya bersiap menghadapi apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi justru tidak peduli dengan masa depannya. Orang yang berani hidup dan mati adalah orang yang tawakal kepada Allah. Ia siap dengan segala keputusan Allah atas ikhtiar yang dilakukannya. Terhadap rezeki Allah, ia senantiasa harus bertawakal, yakni berusaha untuk menjemput rezeki yang memang sudah disiapkan Allah untuk hamba-Nya. Bukan dengan duduk diam, lalu menunggu rezeki datang dari langit.

Kembali ke masalah pernikahan. Jika seorang laki-laki melamar seorang gadis dengan hanya bermodalkan niat baik untuk segera menikah, tanpa persiapan apapun, itu namanya nekat. Namun, jika menunggu harta terkumpul banyak, baru kemudian berani melamar gadis, itulah yang disebut berani, tetapi kurang tawakal. Sedangkan jika kita banyak berdoa agar Allah mendekatkan jodoh, lalu kemudian melamar seorang gadis tanpa persiapan itu namanya nekat tapi mengaku tawakal.

Pemuda yang berani dan bertawakal adalah pemuda yang berdoa agar mendapatkan yang terbaik. Tidak hanya itu, ia pun telah siap meski harus menghadapi kenyataan yang pahit. Tidak hanya berdoa atau menunggu keuangan melimpah, tetapi ia sempurnakan ikhtiarnya mencari ma’isyah agar layak mempersunting “Aisyah”. [ntz]


*Beberapa bagian dari artikel diatas dikutip dari buku “Aisyah dan Ma’isyah” karya Ahmad Gozali.

Sabtu, 26 November 2011

Indahnya Menikah Tanpa Pacaran

Mungkin, sebagian besar dari kita akan berpikir, bagaimana mungkin kita akan menikah dengan orang yang tidak kita kenal sebelumnya? Kita tidak tahu bagaimana sesungguhnya ia, selain hanya profil singkat yang tertulis di selembar kertas berikut foto close-up yang diberikan kepada pimpinan untuk dita’arufkan. Lalu dari profil berikut foto tersebut kita dipertemukan secara langsung dengannya bersama pimpinan. Tak banyak obrolan yang bisa diobrolkan dalam ta’aruf tersebut. Obrolan hanya berlangsung beberapa menit saja, dan setelah itu sang pimpinan meminta kepada yang dita’arufkan untuk memberikan jawabannya dalam tempo waktu yang amat singkat, satu atau dua minggu saja.

Tentu, dalam mencari pasangan hidup tidak semua orang akan mau diatur dengan aturan seperti ini. Cara seperti ini dinilai kurang bisa mendekatkan antar calon pasangan yang seharusnya saling mengenal satu sama lain sebelum menapak ke gerbang pernikahan. Mereka berpendapat, dengan saling mengenal satu sama lain inilah diharapkan segala problema yang terjadi saat menikah nanti dapat dilampaui dengan baik karena keduanya sudah tahu sifat dan karakternya masing-masing.

Karena alasan inilah, banyak dari kita memilih untuk melirik budaya pacaran yang biasa dilakukan oleh masyarakat bebas. Memang, tidak semua mutlak meniru gaya pacaran mereka: kencan di malam minggu, bergandengan tangan, berpelukan dan sebagainya. Gaya pacaran hanya sebatas via sms, FB atau mungkin hanya telpon-telponan saja tanpa pernah ketemuan kecuali bertemu secara tidak sengaja (atau mungkin malah disengaja) dalam acara-acara semisal pengajian, seminar dan sebagainya. Alasan mereka hanyalah untuk lebih mengenal saja, agar nantinya ketika sudah mantap berumah tangga si calon pasangan sudah tahu siapa dan bagaimana calon pasangannya.

Lalu apakah melalui proses mengenal satu sama lain sebelum menjejaki bahtera rumah tangga ini bisa menjadi jaminan bahwa kelak rumah tangganya akan lebih harmonis? Jawabannya, jelas belum tentu. Jika alasan mereka karena takut terjadi perceraian lantaran belum mengenal sebelumnya, toh di luar sana banyak kasus yang bertahun-tahun pacaran tetapi baru beberapa bulan menikah justru sudah cerai. Pada faktanya, banyak hal dari mereka yang justru baru terbuka ketika sudah menikah. Sebelum menikah, yang ditunjukkan hanyalah yang baik-baik saja sementara yang buruk-buruk justru disembunyikan. Karena ketidakterusterangan inilah yang kemudian memunculkan prahara saat sudah mengikat janji setia dalam mahligai pernikahan.

Sebetulnya, apa yang selama ini mereka khawatirkan—takut jika nanti terjadi perceraian jika menikah dengan orang yang tidak dikenali sebelumnya—tidak sepenuhnya terbukti. Toh, banyak pasangan yang tidak kenal sebelumnya justru sampai sekarang adem ayem. Padahal mereka ini hanya tukar foto dan profil, lalu dipertemukan sekali untuk dita’arufkan dengan didampingi pimpinan/murabbi/guru ngaji. Setelah memberikan jawabannya untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan, mereka juga tidak saling bertukar sapa hingga ijab qobul tiba.

Lalu, apa yang menjadikan pernikahan mereka bertahan hingga kini? Padahal, mereka tidak pacaran sebelumnya, atau paling tidak ta’aruf dulu lewat sms, FB, dan sebagainya sebelum nanti memutuskan untuk menikah?

Menikah karena Allah

Yah, karena mereka menikah karena Allah. Karena Allah-lah, mereka menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah dan apapun keputusan-Nya pastilah yang terbaik untuknya. Dengan kemantapan hati lewat istikharoh dan kemudian tawakal’alallah mereka yakin sepenuhnya atas pilihan Allah tersebut. Dengan keyakinannya akan firman-Nya yang artinya,“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)...”[QS. An-Nuur [24] : 26]

Mereka yakin jika seseorang yang akan bersamanya kelak adalah orang yang mempunyai tujuan sama yakni sama-sama berjalan di jalan yang diridhai Allah. Jika tidak, Allah pasti akan menjauhkan mereka dan mengganti dengan yang lebih baik. Dari ayat diatas sudah jelas bahwa Allah tidak mungkin menjodohkan mereka dengan orang yang senang berbuat maksiat sedang mereka sendiri sangat menjauhi segala perbuatan maksiat.

Lagipula, yang mempertemukan mereka adalah pimpinan di tempat ngajinya. Seorang pemimpin pastilah akan bertanggung jawab penuh dalam menjodohkan murid/anggotanya dengan anggotanya yang lain.

Biarpun tidak saling bertukar sapa (kecuali saat dipertemukan bersama pimpinan), toh mereka bisa bertanya tentang bagaimana ia lewat pimpinan yang mempertemukan tersebut atau sumber yang bisa dipercaya lainnya. Di samping itu, saat dipertemukan bersama pimpinan, mereka juga bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai pertimbangan saat memberikan jawaban apakah akan berlanjut (ke jenjang pernikahan) atau tidak.

Lalu, bagaimana jika mereka belum menaruh hati dengan si calon pasangannya? Bagaimana pula jika sudah menikah nanti, mereka tak jua bisa mencintai pasangannya? Tak perlu risau, karena Allah berjanji akan menumbuhkan cinta dan kasih sayang dalam pernikahan selama pernikahan tersebut didasari atas kecintaan kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya yang artinya, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” [QS. Ar Ruum [30] : 21]

Inilah yang membuat pernikahan mereka justru bertahan hingga sekarang. Setidaknya anggapan bahwa untuk menikah si calon pasangan seharusnya melakukan pendekatan untuk saling mengenal satu sama lain terlebih dahulu (baca: pacaran) mutlak tidak terbukti. Bagaimanapun, pacaran dari sisi apapun tak ada manfaatnya, kecuali bagi orang-orang yang ogah dituntun dalam syariat Islam. Lalu bagaimana dengan “ta’aruf” sendiri?

“Ta’aruf”!?

Penulis memang sengaja memberi tanda kutip pada kata “ta’aruf” diatas. Ta’aruf pada arti umum adalah perkenalan. Ta’aruf sendiri lebih dikenal sebagai proses saling mengenal antara laki-laki dan perempuan sebelum menikah. Proses ini tidak sama dengan pacaran. Prosesnya selalu dimediasi oleh perwakilan dari kedua belah pihak (pimpinan, guru ngaji, atau juga orangtua).

Namun sayangnya, kata “ta’aruf” disini seringkali disalahgunakan. Banyak ikhwan abal-abal yang mendekati para akhwat dengan kedok “ta’aruf”. Si ikhwan gadungan ini mencoba ber-“ta’aruf”-an dengan si akhwat tanpa melibatkan satupun perantara diantara mereka. Mulanya PDKT terlebih dahulu lewat sms dengan bertanya sesuatu yang penting-penting dulu (walaupun sebetulnya hanya dipenting-pentingkan), semisal tanya tugas kampus, seputar amanah di organisasi kampus dan sebagainya. Lalu, mengambil hati si akhwat dengan rutin mengirimkan sms tausiah, rajin membangunkan shalat malam (walaupun setelah sms kembali tidur lagi), mengingatkan untuk segera shalat (sedang dia sendiri malah asyik main game) dan hal-hal baik lainnya agar si akhwat pujaan bisa jatuh hati dengannya.

Tanpa disadari, obrolan mereka (masih lewat sms) mengarah ke hal pribadi. Sikap terbukanya si akhwat ini membuat si ikhwan semakin berani untuk sekadar bertanya, “Sudah makan belum?” lalu ditambah dengan kalimat yang bernada mengingatkan dan sarat dengan perhatian, “Cepat makan sana! Nanti sakit loh!”

Saking asyiknya smsan, obrolan dua insan berbeda gender ini kemudian melebar hingga telpon-telponan. Mengingat mereka ini tidak rumongso (merasa) pacaran melainkan hanya ber-“ta’aruf”-an, maka yang diobrolkanpun juga ada bau-bau agama semacam isian tausiah dari kajian yang baru saja diikuti dan sebagainya.

Coba kita telaah apa yang penulis tulis diatas. Memang, dari kata yang digunakan jelas sangat berbeda dengan pacaran. Apalagi bagi sebagian orang memandang, kata “ta’aruf” ini lebih terlihat “Islami”. Tetapi, betulkah “ta’aruf” seperti yang tersebut diatas adalah sesuai dengan tuntunan Islam?

Jika ada seorang ikhwan mendekati akhwat tanpa ada perantara diantara mereka, maka yang jadi pertanyaan sekarang, siapa yang ketiga di antara mereka? Asyik smsan, telpon-telponan tanpa ada yang ketiga diantara mereka (selain syaitan), bukankah ini namanya taqrobuzzina?

Entah itu “ta’aruf” (masih dalam tanda kutip), pacaran atau apapun namanya jika mengarahnya ke taqrobuzzina, bukankah kita sebagai orang beriman dilarang oleh Allah mendekati zina? Ta’aruf yang aman adalah melibatkan perantara entah pimpinan, murabbi atau guru ngaji. Tidak perlu risau, meskipun tak mengenal sebelumnya. Toh, proses perkenalan yang nanti mengarah ke gerbang pernikahan ini selalu dilakukan bersama perantara yang InsyaAllah akan terjauhkan dari kemaksiatan.

Tak perlu juga malu, jika banyak yang mengatakan cara seperti itu adalah cara yang sudah kuno. Dan jangan mudah goyah, jika mereka juga mengatakan bahwa yang modern adalah dengan pacaran dulu. Biarlah mereka mengatakan kuno atau tidak modern atau mungkin ada juga yang mengatakan tidak “laku” (karena tidak punya pacar), toh Allah tidak melihat hamba-Nya dari kacamata kuno, tidak modern atau tidak laku, karena Dia hanya melihat hamba-Nya lewat ketakwaannya.

Sayangnya, banyak penulis jumpai, mereka yang awalnya melibatkan perantara, setelah dita’arufkan dengan seseorang—yang kemudian menjadi calon pasangannya—justru saling berhubungan satu sama lain tanpa ada lagi perantara diantara mereka. Mungkin, sebagian orang berpendapat, “Dia kan calonnya. Toh, nanti dia akan jadi suami/istrinya.” Tetapi, bukankah itu baru calon? Suatu waktu bisa saja berubah jika Allah menghendaki yang lain bukan? Jika ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan, alangkah lebih amannya untuk selalu melibatkan perantara agar terjauhkan dari segala bentuk kemaksiatan. Semoga bermanfaat. [ntz]

Kamis, 18 Agustus 2011

“Islami”-nya Wajah Pertelevisian Indonesia saat Bulan Ramadhan

Bulan Ramadhan adalah bulan mulia, bulan yang penuh rahmat, bulan yang diberkahi. Terlebih di negeri kita ini, bulan Ramadhan selalu menyimpan cerita lain dari bulan yang lain. Betapa tidak, di bulan ini tempat-tempat yang riskan maksiat, seperti lokalisasi, diskotik, cafe dan tempat hiburan lainnya ditutup. Aparat pemerintah pun intensif melakukan operasi segala penyakit masyarakat (pekat) seperti peredaran minuman keras (miras), perjudian dan premanisme saat bulan Ramadhan tiba. Tak hanya itu, para insan pertelevisian pun juga menyuguhi kita dengan tontonan-tontonan Islami. Nyaris, pada bulan ini, Indonesia seolah “disulap” menjadi negeri yang Islami.

Momen Ramadhan selalu menyuguhkan cerita tersendiri dari bulan yang lain, terutama perubahan dari acara-acara televisi yang terlihat lebih “Islami” dari biasanya. Sinetron-sinetron religi bermunculan. Program-program saat sahur maupun menjelang waktu buka yang dikemas dengan gaya humor mewarnai hampir seluruh stasiun televisi. Tausiah dari ustadz maupun ustadzah ternama juga tak absen dihadirkan. Lagu-lagu religi juga sering dilantunkan. Bahkan penyanyi atau grup band yang biasa menyanyikan lagu tentang cinta, beralih sementara waktu dengan meluncurkan single religi.

Tayangan infotainment pun seakan juga ikut “puasa” gosip, karena saat bulan Ramadhan mereka akan menyajikan kabar-kabar dari kehidupan rohani para selebriti. Presenternya yang biasa berpakaian buka-bukaan, saat bulan Ramadhan mereka mengenakan pakaian yang agak tertutup. Demikian halnya dengan para selebriti yang biasa berpakaian seksi akan mengubah gaya berbusananya dengan busana yang (menurut mereka) lebih sopan.

Memang, momen Ramadhan yang merupakan bulan mulia ini selalu “dimuliakan” oleh masyarakat termasuk para insan pertelevisian. Acara-acara televisi banyak diisi dengan program-program Islami. Sayang, dari sekian program yang ditayangkan di bulan Ramadhan tersebut, banyak diantaranya yang tidak sesuai dengan syariat Islam.

Guyonan dari para komedian yang membawakan acara saat sahur maupun menjelang waktu buka puasa seringkali kebablasan. Guyonan mereka cenderung berlebihan, banyak tawa, dan kebohongannya. Tujuan mereka hanya menghibur, tak peduli apakah yang dibicarakannya benar atau tidak. Parahnya, mereka menjadikan aturan Islam sebagai bahan guyonan.

Semisal saat mereka bersentuhan dengan lawan jenis, mereka langsung meledek dengan nada bercanda, “Eh, kita ini bukan muhrim!” Padahal mereka sendiri masih tetap saja bersentuhan, main towel sana-sini dengan bebasnya sekalipun mereka tahu bahwa yang ditowel bukan muhrimnya. Jelas guyonan seperti ini telah menganggap aturan Allah hanyalah main-main saja. Sedang aturan Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an tidak ada keraguan di dalamnya.

Sinetron-sinetron religi juga banyak yang menyimpang dari syariat Islam. Meski pemain utamanya mengenakan jilbab, tetapi mereka ini—dalam cerita sinetron tersebut—masih bersalaman dengan yang bukan mahram, saling memandang malu-malu dengan yang disukai. Padahal seorang wanita muslimah yang sudah bisa menjaga auratnya tidak mungkin ia dengan bebasnya membiarkan tangannya disentuh oleh orang yang belum halal dengannya. Tetapi mirisnya, banyak para penontonnya yang asal menyebut itu sinetron Islami hanya karena pemainnya mengenakan jilbab.

Begitu halnya saat menjelang waktu buka, para penikmat televisi juga disuguhi dengan lagu-lagu yang dinyanyikan oleh para penyanyi atau grup band kaliber. Lucunya, di samping menyanyikan lagu religi, para penyanyi atau grup band ngetop ini juga menyanyikan lagu-lagu mereka yang bernuansa tentang cinta (hubungan laki-laki dengan perempuan yang belum terikat pernikahan) dalam acara tersebut. Hanya saja, mereka ini terkesan Islami karena pakaian yang dikenakan lebih terlihat “Islami” (mengenakan baju koko, pecis dan sebagainya-red).

Sepintas memang terlihat seperti Islami bukan? Tetapi jika kita bijak menilainya, acara-acara yang terlihat Islami itu ternyata menyimpan segudang mudharat di baliknya. Ironisnya, justru tayangan seperti ini yang banyak ditonton oleh sebagian besar umat muslim di Indonesia. Pasalnya, acara-acara seperti ini masih ada hingga kini, hanya kemasannya yang agak dibedakan dari Ramadhan sebelumnya agar penikmatnya tidak bosan.

Setelah Ramadhan Berlalu

Lalu bagaimana jika bulan Ramadhan telah berakhir? Bisa kita tebak. Seperti halnya cerita dalam sinetron-sinetron Ramadhan yang akan berakhir seiring berakhirnya bulan Ramadhan, wajah pertelevisian kita pun akan berubah kembali seperti sebelum bulan Ramadhan. Selebriti yang berpenampilan lebih tertutup saat bulan Ramadhan akan kembali seperti semula, tampil buka-bukaan memperlihatkan auratnya secara vulgar. Ustadz maupun ustadzah yang pada saat bulan Ramadhan sering diundang memberikan tausiah di beberapa stasiun televisi, ketika bulan Ramadhan usai maka usailah tausiah mereka di televisi. Atau, ustadz maupun ustadzah ini setidaknya tak bisa memberikan tausiah pada saat jam prime time. Mereka hanya bisa memberikan tausiah saat orang-orang belum banyak yang bangun, karena rating mereka tak setinggi sinetron ataupun program-program favorit lainnya.

Lagu-lagu religi yang diluncurkan oleh penyanyi atau grup band ngetop perlahan mulai jarang terdengar lagi. Paling-paling, hanya radio-radio Islam saja yang masih memutar lagu mereka. Sama halnya saat sebelum bulan Ramadhan, mereka ini kembali melantunkan lagu-lagu mereka yang liriknya sangat bertentangan dengan Islam. Seolah lagu yang telah mereka ciptakan dengan lirik yang mengandung pelajaran selama bulan Ramadhan tersebut tak ada satupun kata yang menyangkut di pikiran mereka.

Yah, inilah ironi yang terjadi khususnya pada wajah pertelevisian di Indonesia saat bulan Ramadhan tiba. Lantaran karena meraih keuntungankah? Bisa jadi! Penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam—entah hanya Islam KTP atau tidak—tentu menjadi lahan yang strategis bagi pihak Production House (PH) maupun televisi untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya lewat program-program yang dikemas khusus dalam rangka menyambut bulan Ramadhan.

Karena hanya meraih pasar, nilai-nilai Islam tidak terlalu diperhatikan dalam kemasan program mereka. Yang penting diminati pasar, maka program tersebut akan tetap dipertahankan. Tak peduli apakah tayangan itu mendidik atau tidak, asalkan laku itu tak menjadi soal.

Mengingat banyaknya acara televisi yang tidak mendidik dan lebih banyak mengandung mudharat ketimbang manfaatnya, seyogyanya kita sebagai muslim harus pintar-pintar memilah acara-acara televisi mana yang pantas kita tonton dan juga mengandung manfaat. Jika disana kita dapati pelakonnya telah berkelakar berlebihan bahkan menjadikan aturan Allah sebagai bahan guyonan maka tak sepantasnya kita menonton tayangan seperti ini.

Allah sendiri berfirman yang artinya, “Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al-Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam,” [QS. An-Nisaa’ [4] : 140]

Semoga momen Ramadhan ini bisa kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya karena belum tentu kita akan bertemu lagi di bulan Ramadhan yang akan datang. Mari kita berlomba-lomba mencari bekal amalan akhirat sebanyak-banyaknya, karena Allah menjanjikan bahwa setiap kebaikan di bulan puasa ini akan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Kita berusaha untuk menjauhi hal-hal yang dilarang oleh Allah agar puasa kita tak hanya mendapat lapar dan haus saja. Semoga Ramadhan tahun ini semakin menguatkan kita untuk tetap istiqomah di jalan Allah, menjadi muslim yang senantiasa bertakwa kepada-Nya, bukan menjadi muslim “musiman” yang beramal shaleh hanya pada saat bulan Ramadhan saja.

Senin, 15 Agustus 2011

Bahagia di Tengah Keterbatasan

Siapa bilang, hidup mewah dikelilingi harta yang melimpah dengan karir yang wah itulah kebahagiaan? Hei… tidakkah kita tahu bahwa itu bukanlah jaminan dari sebuah kebahagiaan?

Jika kita tahu hakekat syukur, hidup sederhana dengan harta yang pas-pasan pun bisa memberi kebahagiaan. Rasa syukur inilah yang membuat ketenteraman di hati. Meski tak dilimpahi harta yang banyak, tetapi ia merasa cukup.

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." [QS. Ibrahim [14] : 7]

Bertambahnya nikmat tak harus bertambah dalam hal jumlah, tetapi perasaan tenteram di hati dan selalu merasa cukup berapapun banyaknya ini juga menunjukkan keberkahan dari segala nikmat yang diberi oleh-Nya. Harta yang melimpah tak menjamin seseorang merasa cukup, bahkan justru malah sebaliknya, selalu merasa kurang dan kurang.

Inilah berkah jika kita senantiasa bersyukur dan tak segan untuk menafkahkan sebagian harta kita di jalan Allah. Meski sedikit, tapi kita tetap mengambil sebagiannya untuk berzakat dan berinfaq karena keyakinan yang kuat akan balasan-Nya kelak di akhirat nanti. Betapa menguntungkannya jika kita melakukan perniagaan dengan Allah. Perniagaan yang akan tetap diberikan nilai oleh Allah berapapun kecilnya.

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui,” [QS. Al Baqarah [2] : 261]

Sayangnya, banyak diantara manusia justru terlena dengan nikmat semu duniawi. Begitu tergila-gilanya manusia dengan gelimang harta. Segala cara pun ditempuh, tak peduli apakah itu halal atau haram. Mulai dari korupsi, pencurian, penjambretan hingga mendatangi dukunpun dilakukan agar hartanya tak berkurang. Bahkan ada pula yang sampai hati tega membunuh orang untuk melancarkan aksi merampok uang.

Padahal kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang menipu. Ia hanyalah kesenangan sementara. Satu saat nanti, entah kapan, ia akan kita tinggalkan juga. Dan saat itu, bukan harta yang melimpah yang akan menyelamatkan kita. Bukan kekuasaan atau jabatan yang akan menolong kita. Bukan pula karena kita keturunan para petinggi negara, ulama dan para orang terhormat lainnya. Tetapi adalah amal kita.

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” [QS. Al-An’aam [6] : 32]

Kehidupan di dunia ini tak lain hanyalah main-main dan sendau gurau belaka. Lucu bukan jika banyak orang yang terlalu menomor wakhid-kan urusan duniawi, seolah-olah tidak ada kehidupan setelah mereka mati nanti? Ketika duniawi tak dapat atau sulit direngkuh, mereka menjadi putus asa. Karena tak kuat menanggung problema duniawi yang tengah menghimpitnya, mereka pun mengambil jalan pintas dengan jalan bunuh diri. Na’udzubillahi min dzalik.

Andaikan mereka tahu, hakekat hidup di dunia ini. Di dunia ini adalah ladang untuk mencari bekal hidup di akhirat kelak. Sebagaimana firman-Nya,“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” [QS Assyuura [42] : 20]

Kebahagiaan di akhirat kelak itulah kebahagiaan yang hakiki. Kebahagiaan yang tak akan musnah oleh apapun. Kebahagiaan yang akan kekal selamanya.

Apalah artinya harta yang melimpah tetapi justru akan melalaikan kita dari urusan ukhrowi. Harta yang melimpah justru menjadikan kita amat kikir, enggan menafkahkan hartanya di jalan Allah. Malahan harta itu justru dihabiskan untuk berfoya-foya menikmati dunia bahkan untuk bermaksiat ria.

Saat diberi kemudahan dalam urusan duniawi, ia malah sombong lagi membanggakan diri. Seolah-olah segala nikmat yang diberi oleh Allah ini adalah karena kemampuannya yang hebat mencari harta duniawi.

Inilah yang dikhawatirkan oleh beliau Rasulullah Saw saat manusia terlena dengan keindahan dunia dan seisinya. Bahkan Rasulullah Saw amat khawatir bila kita ditimpa cobaan kesenangan ketimbang cobaan penderitaan.

Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh aku lebih khawatir terhadap cobaan kesenangan yang menimpa kalian daripada cobaan penderitaan. Sesungguhnya kalian telah dicobai dengan cobaan penderitaan, maka kalian bisa bersabar. Dan sesungguhnya dunia itu manis lagi menarik”. [HR. Abu Ya’la dan Al- Bazzar]

Maka bersyukurlah atas segala nikmat yang diberikan oleh Allah, berapapun itu. Janganlah kita terpedaya dengan segala pesona keindahan duniawi, karena itu adalah kesenangan yang menipu. Dan bersabarlah akan datangnya pertolongan Allah, karena Allah selalu beserta orang-orang yang bersabar. [ntz]

Kamis, 14 Juli 2011

Bila Cinta Membuncah, Bagaimana Menyikapinya?

Cinta, cinta, oh cinta. Memang tak ada habisnya untuk membicarakan kata yang satu ini. Lebih-lebih bagi yang lagi jatuh cinta (siapa tuh?). Kata si penyanyi dalam sebuah nyanyian, jatuh cinta itu berjuta rasanya. Duh, rasanya manis, asem, asin atau pahit ya?

Sebelum berbicara soal itu, kita intip dulu yuk, curahan hati dari seorang sahabat berikut! Ssstt… kayaknya ada yang lagi patah hati nih (patah hati atau patah gigi? Hehe).

“Bagaimana mungkin aku menempatkan dirinya begitu istimewa dalam relung hatiku? Hingga aku melupakan kasih dari Tuhanku. Aku menjadi seorang pengkhianat. Aku menyangka bahwa yang kulakukan adalah sebuah jalan dakwah namun hanya bermuara pada dusta. Aku banyak berkholwat dengannya hingga tak kusadari aku menyandarkan hidupku padanya.

Aku terlanjur mengukir namanya di hatiku dan berharap bahwa dialah orang pertama dan terakhir yang dipilih Allah untuk melengkapi hidupku. Namun ternyata yang terjadi tidaklah seperti yang aku harapkan dulu. Aku merasa kehilangan tanpa tahu apa yang telah kutemukan. Aku merasa telah menemukan tanpa tahu yang sedang kucari. Aku merasa masih terus mencari tanpa tahu apa yang telah hilang.”


Hm, kalau lagi jatuh cinta bawaannya memang melankolis, suka menulis yang puitis-puitis seperti yang ditulis oleh salah seorang sahabat diatas. Yah, seperti inilah jika anak cucu adam dihantui virus cinta. Linglung dan serba salah, tak tahu apa yang harus dilakukan. Di setiap tempat selalu ada si jantung hati. Mau di kelas, di kampus, di rumah, di jalan, di bus, ingat si dia terus. Jangan ditanya berapa lama ngelamunin si dia. Wuih… pokoknya sampai menyita waktu belajar, ngerjain tugas tak kunjung kelar, dan menjalar-jalar pada kegiatan lain pula. Duile, sampai segitunya?

Mencintai dengan lawan jenis itu adalah wajar. Dan memang itulah seharusnya. Justru agama melarang jika kita sama sekali tidak punya rasa tertarik dengan lawan jenis, sementara malah menyimpan rasa dengan yang sejenis. Na’udzubillah. Tetapi Islam mengatur bagaimana rasa ketertarikan dengan lawan jenis ini kita jaga agar tidak bertentangan dengan aturan Islam.

Tentu pengikraran cinta dalam bentuk pacaran yang membudaya di kalangan anak muda saat ini adalah hal yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Cinta dua sejoli yang ditunjukkan dengan saling bertatapan, berpegangan tangan, bahkan sampai yang lebih dari itu, jelas yang seperti ini akan mendapat lampu merah dalam Islam.

Islam menuntunkan kepada umatnya untuk menahan pandangannya jika melihat lawan jenis yang bukan mahramnya. Sebagaimana firman-Nya yang artinya, “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya…” [QS. An-Nuur [24] : 30]

Beliau Rasulullah Saw pun juga pernah bersabda kepada Ali Ra,“Hai Ali, janganlah engkau iringkan satu pandangan (kepada wanita) dengan satu pandangan, karena yang pertama itu tidak menjadi kesalahan, tetapi tidak yang kedua.” [HR. Abu Dawud]

Begituhalnya dengan berpegangan tangan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. Jelas berpegangan tangan dengan seseorang yang belum halal untuknya ini dilarang dalam Islam. Aisyah Ra berkata, “Tangan Rasulullah Saw tak pernah sama sekali menyentuh tangan wanita yang tidak halal baginya”. [HR Bukhari dan Muslim]

Bagaimana sobat muda? Memang, tidak ada ayat maupun hadits yang menerangkan bahwa pacaran itu dilarang. Tetapi kebiasan-kebiasaan yang sering dilakukan oleh sepasang muda mudi yang telah berikrar cinta sebelum pernikahan ini pasti akan menjurus pada hal-hal yang dilarang oleh Allah. Ingat! Jalan syaitan itu penuh dengan hal-hal yang indah, dan oleh syaitan jalan yang menyimpang itu dijadikan sebagai hal yang lumrah. Pegang tangan sudah lumrah. Cipika cipiki juga dikatakan lumrah. Bahkan pada yang lebih dari itupun masih juga dinyana lumrah karena sudah biasa dilakukan oleh orang kebanyakan.

Inilah yang terjadi pada umumnya masyarakat kita terutama di kalangan anak muda. Cinta diungkapkan di waktu dan tempat yang tidak tepat, pada saat mereka belum masuk dalam lingkup pernikahan. Saat si dia mengungkapkan perasaannya, maka itu artinya si dia telah “menembak” si gadis untuk menjadi pacarnya. Jika si gadis menjawab “ya”, maka itu artinya mereka berdua telah jadian. Saat inilah, keduanya seolah sudah menjadi “halal” dan dianggap hal yang wajar bagi kebanyakan orang jika mereka berdua sedang bermesraan.

Lalu bagaimana jika hanya sekadar smsan, fban, chatting dan media-media lainnya tanpa ketemuan? Allah berfirman, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” [QS. Al-Israa’ [17] : 32]

Allah telah melarang pada jalan-jalan yang menyebabkan seseorang mendekati zina. Siapa yang bisa menjamin hanya smsan saja tanpa hasrat untuk bertemu? Padahal kita tahu bahwa syaitan itu teramat lihai untuk menghasut manusia. Pasti syaitan tidak akan membiarkan manusia stagnan pada tahap smsan saja. Bisikan-bisikan untuk bertemupun semakin digencarkan. Setelah bertemu, tentu syaitan takkan puas hanya sampai disini. Godaan-godaan lain terus saja dibisikkan hingga manusia benar-benar berada dalam kesesatan.

Dan jika kita bijak menelaah, dari katanya saja sudah sangat jelas bahwa kebiasaan smsan banyak yang tidak mengandung manfaatnya. Sedang Allah berfirman tentang sifat orang mukmin yang beruntung, “Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna,” [QS. Al-Mu’minuun [23] : 3]

Saat Cinta Tak Berbalas

Makna cinta itu sebetulnya luas. Cinta bisa juga diartikan dengan menyayangi, menyayangi sesama saudara semuslim. Sebagaimana sabda-Nya, “Tidak beriman seseorang diantara kalian sehingga ia mencintai saudaranya (sebagaimana) apa yang ia cintai untuk dirinya.” [HR. Bukhari]

Tetapi sayangnya, orang melulu mengaitkan kata “cinta” dengan virus merah jambu yang menghinggapi hati para anak cucu adam dan hawa. Saat yang dicintai ternyata telah pergi, maka pupuslah sudah semangatnya. Saat yang dicintai ternyata justru menaruh hati dengan yang lain, maka patahlah sudah hatinya. Akibatnya, mereka jadi hilang semangat untuk menjalani hidup. Murung, menyendiri, meratapi perjalanan cintanya yang tak sesuai harapan. Karena sempitnya akal, mereka sampai mengakhiri nyawa hanya karena si dia telah pergi atau cintanya ditolak oleh si pujaan hati.

Anis Matta pernah berkata tentang cinta,“Kita mencintai seseorang lalu kita menggantungkan kebahagiaan kita pada sebuah kehidupan bersamanya. Maka ketika ia menolak, atau tak beroleh kesempatan, untuk hidup bersama kita, itu menjadi sumbu kesengsaraan. Kita menderita bukan karena kita mencintai. Dan mungkin juga bukan karena cinta itu sendiri. Tapi karena kita meletakkan kebahagiaan kita pada cinta yang diterjemahkan sebagai kebersamaan.”

Sedang Allah juga berfirman yang artinya,“Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (nabi)...” [QS. Ali Imran [3] : 31]

Allah-lah cinta hakiki kita. Jika kita mencintai Allah, maka kita tak akan bertindak sesuatu yang tidak dituntunkan oleh Nabi Saw dan kita akan mengamalkan apa yang disunnahkan oleh beliau. Tentu saat kita menaruh hati dengan seseorang yang belum halal untuk kita, maka kita menjaga perasaan itu agar jangan sampai menjadi penyebab kita tersesat dari jalan-Nya. Jika kita sudah merasa mampu, maka ungkapkan perasaan itu melalui seorang perantara (pimpinan) untuk menapak ke jenjang yang dihalalkan, yakni pernikahan. Melalui pernikahanlah, hati dan pandangan kita akan terjaga. Segala nafsu yang menghujam akan dapat tertahan karena pernikahan.

Lalu bagaimana jika ungkapan perasaan itu tak bersambut atau kalah cepat dengan orang lain yang lebih dulu mengkhitbahnya? Tentu, kita tak perlu patah hati karena ini. Kita berprasangka baik pada Allah, karena sesuatu yang tidak kita sukai belum tentu itu buruk bagi kita. Yakinlah, akan ada jalan yang lebih indah yang Allah siapkan untuk kita yang tak pernah kita sangka sebelumnya. Karena apa yang ada di samping kita, semua akan hilang. Dia-lah yang akan selalu ada untuk kita. Saat kita memilih untuk mencintai-Nya, maka kita akan menerima dengan kerelaan hati bahwa segala yang terjadi adalah yang terbaik bagi kita. Semoga bermanfaat!

*Artikel ini awalnya ditulis oleh sobat sy, tp krn tulisannya byk yg tidak sesuai dgn yang dimaksudkan, maka tulisan tsb dirombak menjadi seperti ini. It mean, bukan krn penulisnya yg lg kena virus merah jambu trus nulis about LOVE kyk gini! :D

Rabu, 22 Juni 2011

Berani Bersuara di Depan itu… Penting Lagi!


Satu ketika dalam sebuah kajian yang dihadiri oleh kawula muda, sang ustadz memberikan kesempatan kepada anak didiknya untuk bertanya. Oh, tragis! Tak satupun ada dari mereka yang mengacungkan telunjuk jarinya untuk bertanya dari materi kajian yang sudah diberikan. Sang ustadz pun dengan terheran-heran bertanya, “Ini tidak ada yang bertanya, apa sudah mudheng (paham) atau babarblas malah tidak tahu?”

Tidak ada jawaban. Sang ustadz pun tanpa menunggu lama segera mengakhiri kajian karena tidak yakin akan ada yang bertanya sekalipun diberi kesempatan.

Dalam kesempatan lain, seringkali ketika pemateri meminta salah satu audiens untuk maju ke depan menyampaikan gagasan tentang masalah tertentu, lagi-lagi tak ada satupun dari mereka yang berani maju ke depan. Kalaupun ada, itu hanya segelintir saja. Itupun hanya si itu-itu saja, bukan si ini atau si itu yang lain.

Yah, inilah yang terjadi di kalangan generasi muda sekarang. Amat sedikit kita jumpai dari mereka yang berani untuk bersuara di depan. Alasannya beragam, ada yang memang tidak berani maju di depan, takut salah, tidak tahu apa yang akan dikatakan jika maju di depan nanti dan lain sebagainya. Tetapi mayoritas dari mereka, permasalahannya adalah sama, karena kurangnya rasa percaya diri untuk bisa bersuara di depan audiens. Baru maju saja rasanya sudah panas dingin, apalagi yang lebih dari itu.

Tetapi sesungguhnya, ini bukan masalah bisa tidaknya seseorang untuk bersuara. Seseorang yang terkenal banyak omong sekalipun belum tentu ia akan berani bersuara di depan. Ini tergantung dari kemauan kita sendiri untuk melatih diri agar berani bersuara di depan.

Bagaimanapun, bersuara di depan khalayak ramai amat penting kaitannya dalam perjuangan dakwah. Tidak mungkin selamanya kita akan menjadi pendengar saja. Jika generasi pendahulu yang biasanya bersuara di depan memberikan materi kajian telah tiada, maka generasi peneruslah yang nantinya akan menggantikan. Lalu bagaimana jika para generasi penerus ini justru banyak yang ciut nyali untuk bersuara di depan?

Mari, sobat muda, kita pacu keberanian kita untuk juga bersuara di depan. Mulailah dari forum yang kecil yang hanya dihadiri beberapa gelintir orang saja atau kita juga bisa bertanya dalam sebuah kajian. Sama halnya dengan menulis yang perlu latihan, latihan dan latihan, berbicara di depan pun juga perlu latihan. Seorang penyiar radio yang sehari-harinya bercuap-cuap di udara saja selalu menyempatkan diri untuk berlatih berbicara entah di kamar, di jalan ataupun tempat-tempat lainnya, apalagi kita.

No worry, guys! Everyone is nervous!
Nervous itu wajar, semua orang mengalaminya. Tak perlu kita takut keselip, enggan karena suara kita tak merdu, dan kerisauan-kerisauan lainnya. Kita harusnya malu dengan mereka, orang-orang yang katanya “ndeso” yang berebut bertanya saat kajian Ahad Pagi digelar. Padahal mereka ini sebelumnya tak pernah memegang mikrofon, apalagi suara mereka didengar dan dilihat oleh ribuan jamaah yang datang, belum lagi ditambah pula jutaan pendengar lain di seluruh dunia yang mendengarkan via radio, satelit maupun streaming. Tuh, kan? Masa’ kita kalah dengan mereka? So, ayo latih lidah kita untuk berani bersuara di depan ya!