Rabu, 22 Juni 2011
Berani Bersuara di Depan itu… Penting Lagi!
Satu ketika dalam sebuah kajian yang dihadiri oleh kawula muda, sang ustadz memberikan kesempatan kepada anak didiknya untuk bertanya. Oh, tragis! Tak satupun ada dari mereka yang mengacungkan telunjuk jarinya untuk bertanya dari materi kajian yang sudah diberikan. Sang ustadz pun dengan terheran-heran bertanya, “Ini tidak ada yang bertanya, apa sudah mudheng (paham) atau babarblas malah tidak tahu?”
Tidak ada jawaban. Sang ustadz pun tanpa menunggu lama segera mengakhiri kajian karena tidak yakin akan ada yang bertanya sekalipun diberi kesempatan.
Dalam kesempatan lain, seringkali ketika pemateri meminta salah satu audiens untuk maju ke depan menyampaikan gagasan tentang masalah tertentu, lagi-lagi tak ada satupun dari mereka yang berani maju ke depan. Kalaupun ada, itu hanya segelintir saja. Itupun hanya si itu-itu saja, bukan si ini atau si itu yang lain.
Yah, inilah yang terjadi di kalangan generasi muda sekarang. Amat sedikit kita jumpai dari mereka yang berani untuk bersuara di depan. Alasannya beragam, ada yang memang tidak berani maju di depan, takut salah, tidak tahu apa yang akan dikatakan jika maju di depan nanti dan lain sebagainya. Tetapi mayoritas dari mereka, permasalahannya adalah sama, karena kurangnya rasa percaya diri untuk bisa bersuara di depan audiens. Baru maju saja rasanya sudah panas dingin, apalagi yang lebih dari itu.
Tetapi sesungguhnya, ini bukan masalah bisa tidaknya seseorang untuk bersuara. Seseorang yang terkenal banyak omong sekalipun belum tentu ia akan berani bersuara di depan. Ini tergantung dari kemauan kita sendiri untuk melatih diri agar berani bersuara di depan.
Bagaimanapun, bersuara di depan khalayak ramai amat penting kaitannya dalam perjuangan dakwah. Tidak mungkin selamanya kita akan menjadi pendengar saja. Jika generasi pendahulu yang biasanya bersuara di depan memberikan materi kajian telah tiada, maka generasi peneruslah yang nantinya akan menggantikan. Lalu bagaimana jika para generasi penerus ini justru banyak yang ciut nyali untuk bersuara di depan?
Mari, sobat muda, kita pacu keberanian kita untuk juga bersuara di depan. Mulailah dari forum yang kecil yang hanya dihadiri beberapa gelintir orang saja atau kita juga bisa bertanya dalam sebuah kajian. Sama halnya dengan menulis yang perlu latihan, latihan dan latihan, berbicara di depan pun juga perlu latihan. Seorang penyiar radio yang sehari-harinya bercuap-cuap di udara saja selalu menyempatkan diri untuk berlatih berbicara entah di kamar, di jalan ataupun tempat-tempat lainnya, apalagi kita.
No worry, guys! Everyone is nervous! Nervous itu wajar, semua orang mengalaminya. Tak perlu kita takut keselip, enggan karena suara kita tak merdu, dan kerisauan-kerisauan lainnya. Kita harusnya malu dengan mereka, orang-orang yang katanya “ndeso” yang berebut bertanya saat kajian Ahad Pagi digelar. Padahal mereka ini sebelumnya tak pernah memegang mikrofon, apalagi suara mereka didengar dan dilihat oleh ribuan jamaah yang datang, belum lagi ditambah pula jutaan pendengar lain di seluruh dunia yang mendengarkan via radio, satelit maupun streaming. Tuh, kan? Masa’ kita kalah dengan mereka? So, ayo latih lidah kita untuk berani bersuara di depan ya!
Langganan:
Postingan (Atom)