Para pencinta dunia maya dibuat geger ketika 700 ulama se-Jawa Timur beberapa waktu yang lalu menfatwakan bahwa Facebook haram. Fatwa haram yang dikeluarkan ulama Jawa Timur itu kontan membuat para pengguna Facebook gerah. Mereka menolak mentah-mentah adanya fatwa haram Facebook. Suara-suara penolakan itu kian membanjiri di berbagai media. Dalam Facebook milik penulis sendiri misalnya, sudah beberapa kali teman-teman yang ada dalam Facebook milik penulis, bersuara lantang, menolak fatwa haram Facebook. Tidak hanya itu, setiap suara penolakan yang diposting menarik pengguna Facebook lain untuk memberikan komentar. Intinya tetap sama, menolak adanya fatwa haram tentang penggunaan Facebook.
Seolah menjadi isu terkini, kabar ini kian berkembang luas di masyarakat. Sayangnya kabar yang terlanjur beredar, tidak ditinjau lebih dalam lagi oleh para pengguna Facebook. Mereka berpikir bahwa penggunaan Facebook itu haram, sebagaimana halnya hukum halal haram dalam islam. Padahal sejatinya ini hanyalah sebuah fatwa, yang keberadaanya haruslah dicari tahu sebab apa yang menjadikan penggunaan Facebook menjadi haram.
Dalam forum Bahtsul Masail Putri (BMP) XI Pondok Pesantren Lirboyo Kediri menetapkan status haram kepada pengguna Facebook, namun fatwa haram ini hanya mencakup pada penggunaan Facebook saja. Jika penggunaan Facebook membuat keakraban dan kedekatan hubungan lawan jenis yang tanpa batas, sehingga memunculkan potensi syahwat atau fitnah, tentu penggunaan Facebook menjadi haram adanya. Sebaliknya jika Facebook digunakan untuk kebaikan dan hal-hal yang bermanfaat, tentu penggunaan Facebook bukan menjadi sesuatu yang dilarang oleh agama.
Tidak seperti kabar yang muncul di banyak media, kabar fatwa haram Facebook agaknya hanyalah menjadi sebuah gunjingan saja. Juru bicara Bathsul Masail, Nabil Haroen dalam Tempo Interaktif menegaskan forum tersebut tidak pernah memutuskan haram pada jejaring sosial Facebook, karena bagaimanapun media tersebut hanyalah alat komunikasi yang diciptakan manusia. Kabar para ulama Jatim membahas fatwa haram Facebook, juga dibantah oleh Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, KH Idris Marzuki. KH Idris mengaku memang ada pertemuan ulama se-Jawa Timur, namun dalam pertemuan itu hanya membahas mengenai persoalan umat kontemporer. Bahkan Pesantren Lirboyo masih memperbolehkan santrinya menggunakan Facebook sepanjang tidak mengarah ke hal-hal yang berbau porno atau mengundang birahi. Fatwa haram Facebook oleh ulama se-Jawa Timur itu juga dimentahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. MUI menilai, tidak ada alasan mendasar untuk dikeluarkan fatwa haram jika jejaring sosial ini mengandung banyak manfaat bagi umat.
Entah kabar mengenai fatwa haram Facebook ini benar atau tidak, yang jelas pembaca Respon haruslah bijak menyikapi kabar yang beredar. Terlepas dari itu, Facebook hanya merupakan urusan duniawi. Dalam Q.S Al-Baqarah 29 yang artinya, “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu...”. Dari ayat tersebut nampak jelas bahwa, segala apa yang mencakup urusan duniawi itu memang boleh dilakukan, sepanjang tidak ditemukan dalil larangannya.
Sebagaimana diungkapkan oleh Ketua Umum Yayasan Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) Pusat Surakarta, Al-Ustadz Drs.Ahmad Sukina.“Masalah hidup itu ada dua pokok, yakni masalah ibadah dan muamalah. Dalam masalah ibadah kita harus mengikut nabi, sedangkan masalah muamalah urusan duniawi itu hukumnya mubah. Selama tidak ada larangan dari agama, jangan membuat larangan. Karena hakikatnya yang membuat halal dan haram itu hanyalah Allah. Selama tidak ada larangannya, ya jangan mengharam-haramkan, nanti malah justru menyulitkan sendiri.” Ungkapnya saat ditemui usai mengisi Pengajian Ahad Pagi di Gedung MTA Mangkunegaran, Ahad (7/6).
Lebih lanjut Al-Ustadz mengungkapkan Facebook hanyalah sebuah alat, jika alat itu digunakan untuk hal yang salah, maka yang salah adalah orangnya, sehingga yang haram disini adalah perbuatan orang itu sendiri yang telah menyalahgunakan untuk hal-hal yang dilarang Allah.“Termasuk internet itu kan, mau cari maksiat ya bisa, mau cari manfaat ya bisa. Kalau ingin menimba ilmu dari internet, berapa banyak yang didapat, sebaliknya kalau ingin menimba maksiat juga banyak. Sekarang apa intenet itu haram? Kan internet itu halal. Lha orangnya yang telah menyalahgunakan, itulah yang haram. Jadi yang haram disini adalah perbuatannya.” Ujarnya.
Pembaca Respon pastilah sudah bisa mengkontrol sendiri, sejauh mana Facebook digunakan. Jika Facebook dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, ada banyak manfaat yang bisa diambil dari penggunaan Facebook ini. Dengan Facebook, orang bisa dengan mudahnya berinteraksi dengan orang lain. Di samping itu, Facebook juga dinilai sebagai alat modern yang bisa digunakan untuk bersilaturrahim dengan sahabat-sahabat lama yang berada di wilayah berbeda. Facebook juga sangat bermanfaat untuk menggali ilmu, bertukar pikiran, berdakwah sampai berbisnispun juga bisa dilakukan disini.
Arena bebas yang ditawarkan Facebook, membuat situs ini riskan akan godaan syaitan. Jalinan pertemanan antara laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrim yang tidak dibatasi syariat islam, justru malah berdampak pada pergaulan bebas. Terlalu asyik online di Facebook, justru malah melupakan kegiatan lain. Belum lagi pemanfaatan Facebook yang berlebih, semakin menguras uang saku, karena harus membeli pulsa demi mengakses situs favorit itu.
Jika sudah demikian, Facebook yang awalnya hanyalah merupakan urusan duniawi dan dibolehkan, namun karena penggunaannya yang salah dan melampui batas, Facebook justru beralih pada sesuatu yang dilarang. Semua tergantung dari sejauh mana pemanfaatan Facebook dan tentunya pemanfaatan ini haruslah tidak bertentangan dengan syariat islam.(ISN)
Selasa, 30 Juni 2009
Selasa, 16 Juni 2009
Melunturnya Bahasa Jawa Di Tengah Masyarakat Jawa
Sebut saja Kholila, si gadis kecil berusia 4 tahun sangat fasih menggunakan bahasa Indonesia. Hal mengejutkan terjadi ketika seseorang mencoba mengajaknya berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa, si gadis kecil mendadak terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ketidakpahamannya mengenai bahasa Jawa memang berdasar, selama ini kedua orang tuanya hanya mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari. Padahal Kholila hanyalah seorang gadis kecil yang tinggal di daerah Solo dan kedua orang tuanya pun juga berasal dari daerah yang sama.
Kasus Kholila hanyalah mewakili dari banyaknya orang tua, khususnya orang tua muda, yang lebih memilih untuk mengajarkan bahasa Indonesia ketimbang harus menggunakan bahasa Jawa yang halus (Krama Inggil). Sungguh sangat disayangkan bila ini terjadi. Penggunaan bahasa Jawa Krama Inggil yang dinilai rumit, membuat para orang tua lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia. Mereka berpikir, bahasa Indonesia lebih terdengar sopan bila dibandingkan dengan bahasa Jawa Ngoko.
Tindakan yang dipilih oleh para orang tua ini memang beralasan. Pemahaman mengenai pemakaian bahasa Jawa yang baik dan benar sangatlah kurang. Seringnya berinteraksi menggunakan bahasa Indonesia ketika duduk di bangku sekolah, kuliah ataupun tempat kerja memungkinkan orang akhirnya malah terbiasa menggunakan bahasa Indonesia. Akibatnya, penggunaan bahasa Jawa malah semakin tersingkirkan.
Bagi sebagian besar masyarakat Jawa sekarang ini, penggunaan bahasa Jawa memang dinilai sulit. Bahkan katanya, belajar bahasa Jawa lebih susah bila dibandingkan dengan belajar bahasa Inggris. Terlebih bahasa Jawa terdiri dari beberapa tingkatan dialek, yakni Ngoko, Ngoko andhap, Madhya, Madhyantara, Kromo, Kromo Inggil. Bila tidak jeli, tingkatan dialek ini memang tidak berbeda jauh, kecuali Ngoko dengan Krama Inggil yang sangat jelas sekali perbedaannya. Beberapa tingkatan dialek inilah yang membuat sebagian besar masyarakat Jawa kurang begitu memahami penggunaan bahasa Jawa yang baik dan benar. Tidak heran jika seringkali orang terbolak-balik ketika harus menggunakan bahasa Jawa yang ditujukan kepada orang yang lebih tua atau muda.
Kurangnya Perhatian dari Berbagai Pihak
Minimnya pengetahuan bahasa Jawa, bukan karena pengaruh didikan orang tua saja, melainkan berbagai pihak pun juga ikut bertanggung jawab atas hal ini. Tengok saja dari kurikulum bahasa Jawa yang semakin tidak jelas arahnya. Bahkan kerumitan makin diperparah dengan kurikulum antarjenjang pendidikan yang tidak sinergis dan tumpang tindih antara TK, SD, SMP dan SMA. Tidak heran jika para siswa justru semakin kebingungan ketika mempelajari bahasa Jawa.
Tidak seperti mata pelajaran lainnya, jam pelajaran Bahasa Jawa terbilang singkat. Karena merupakan bahasa daerah yang biasa digunakan sebagai bahasa sehari-hari, mata pelajaran Bahasa Jawa seolah menjadi tidak terlalu penting untuk dipelajari. Padahal belum tentu juga masyarakat Jawa akan memahami betul pemakaian bahasa Jawa yang baik dan benar, meskipun merupakan bahasa daerahnya sendiri.
Sebagai contoh ketika orang sedang menonton berita di Televisi. Kini, masyarakat Jawa cenderung lebih memilih menonton siaran berita dalam bahasa Indonesia ketimbang harus menonton siaran berita lokal yang notabene menggunakan bahasa Jawa. Penyampaian berita yang menggunakan dialek Krama Inggil, semakin menyulitkan pemahaman para penonton, dalam hal ini adalah masyarakat Jawa.
Hal yang sama juga terjadi pada media lain seperti surat kabar atau majalah. Minimnya minat masyarakat Jawa untuk mengakses berita yang menggunakan bahasa Jawa, membuat surat kabar atau majalah dalam bahasa Jawa menjadi tenggelam dan ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri.
Yang sangat mengkhawatirkan adalah pada generasi muda sekarang ini. Sangat jarang didapati satu dari banyak generasi mereka, fasih menggunakan bahasa Jawa yang halus. Karena kurangnya pengetahuan tentang bahasa Jawa, biasanya mereka mengambil jalan aman yakni menggunakan bahasa Jawa dengan dialek campuran antara Ngoko dengan Krama Inggil, atau justru malah menggunakan bahasa Indonesia saja.
Bagaimanapun penggunaan bahasa Jawa (Krama Inggil) merupakan tata krama untuk menghormati orang yang lebih tua. Penggunaan dialek Krama Inggil juga dinilai sopan dan sesuai dengan unggah ungguh masyarakat Jawa. Jika nantinya bahasa Jawa sebagai bahasa daerah justru tergeser oleh bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional, bukankah ini justru menjadi dilema? (ISN)
Kasus Kholila hanyalah mewakili dari banyaknya orang tua, khususnya orang tua muda, yang lebih memilih untuk mengajarkan bahasa Indonesia ketimbang harus menggunakan bahasa Jawa yang halus (Krama Inggil). Sungguh sangat disayangkan bila ini terjadi. Penggunaan bahasa Jawa Krama Inggil yang dinilai rumit, membuat para orang tua lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia. Mereka berpikir, bahasa Indonesia lebih terdengar sopan bila dibandingkan dengan bahasa Jawa Ngoko.
Tindakan yang dipilih oleh para orang tua ini memang beralasan. Pemahaman mengenai pemakaian bahasa Jawa yang baik dan benar sangatlah kurang. Seringnya berinteraksi menggunakan bahasa Indonesia ketika duduk di bangku sekolah, kuliah ataupun tempat kerja memungkinkan orang akhirnya malah terbiasa menggunakan bahasa Indonesia. Akibatnya, penggunaan bahasa Jawa malah semakin tersingkirkan.
Bagi sebagian besar masyarakat Jawa sekarang ini, penggunaan bahasa Jawa memang dinilai sulit. Bahkan katanya, belajar bahasa Jawa lebih susah bila dibandingkan dengan belajar bahasa Inggris. Terlebih bahasa Jawa terdiri dari beberapa tingkatan dialek, yakni Ngoko, Ngoko andhap, Madhya, Madhyantara, Kromo, Kromo Inggil. Bila tidak jeli, tingkatan dialek ini memang tidak berbeda jauh, kecuali Ngoko dengan Krama Inggil yang sangat jelas sekali perbedaannya. Beberapa tingkatan dialek inilah yang membuat sebagian besar masyarakat Jawa kurang begitu memahami penggunaan bahasa Jawa yang baik dan benar. Tidak heran jika seringkali orang terbolak-balik ketika harus menggunakan bahasa Jawa yang ditujukan kepada orang yang lebih tua atau muda.
Kurangnya Perhatian dari Berbagai Pihak
Minimnya pengetahuan bahasa Jawa, bukan karena pengaruh didikan orang tua saja, melainkan berbagai pihak pun juga ikut bertanggung jawab atas hal ini. Tengok saja dari kurikulum bahasa Jawa yang semakin tidak jelas arahnya. Bahkan kerumitan makin diperparah dengan kurikulum antarjenjang pendidikan yang tidak sinergis dan tumpang tindih antara TK, SD, SMP dan SMA. Tidak heran jika para siswa justru semakin kebingungan ketika mempelajari bahasa Jawa.
Tidak seperti mata pelajaran lainnya, jam pelajaran Bahasa Jawa terbilang singkat. Karena merupakan bahasa daerah yang biasa digunakan sebagai bahasa sehari-hari, mata pelajaran Bahasa Jawa seolah menjadi tidak terlalu penting untuk dipelajari. Padahal belum tentu juga masyarakat Jawa akan memahami betul pemakaian bahasa Jawa yang baik dan benar, meskipun merupakan bahasa daerahnya sendiri.
Sebagai contoh ketika orang sedang menonton berita di Televisi. Kini, masyarakat Jawa cenderung lebih memilih menonton siaran berita dalam bahasa Indonesia ketimbang harus menonton siaran berita lokal yang notabene menggunakan bahasa Jawa. Penyampaian berita yang menggunakan dialek Krama Inggil, semakin menyulitkan pemahaman para penonton, dalam hal ini adalah masyarakat Jawa.
Hal yang sama juga terjadi pada media lain seperti surat kabar atau majalah. Minimnya minat masyarakat Jawa untuk mengakses berita yang menggunakan bahasa Jawa, membuat surat kabar atau majalah dalam bahasa Jawa menjadi tenggelam dan ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri.
Yang sangat mengkhawatirkan adalah pada generasi muda sekarang ini. Sangat jarang didapati satu dari banyak generasi mereka, fasih menggunakan bahasa Jawa yang halus. Karena kurangnya pengetahuan tentang bahasa Jawa, biasanya mereka mengambil jalan aman yakni menggunakan bahasa Jawa dengan dialek campuran antara Ngoko dengan Krama Inggil, atau justru malah menggunakan bahasa Indonesia saja.
Bagaimanapun penggunaan bahasa Jawa (Krama Inggil) merupakan tata krama untuk menghormati orang yang lebih tua. Penggunaan dialek Krama Inggil juga dinilai sopan dan sesuai dengan unggah ungguh masyarakat Jawa. Jika nantinya bahasa Jawa sebagai bahasa daerah justru tergeser oleh bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional, bukankah ini justru menjadi dilema? (ISN)
Langganan:
Postingan (Atom)