Saudaraku... bagaimana jika kita kehilangan salah satu bagian dari raga kita? Apa yang kita rasa, saat kita kehilangan dua kaki kita, tangan, mata, dan bagian raga yang lain?
Kita yang dulu berjalan tegap penuh percaya diri, sigap melangkah, kini takkan bisa kita lakukan lagi. Kita yang tadinya bisa melihat warna-warni dari dunia, kini hanya kegelapan yang bisa kita tangkap oleh dua mata kita. Kita yang dulunya bisa menyantap makanan dengan tangan kita, kini mulut kitalah yang langsung kita gunakan untuk makan.
Seperti halnya seorang ibu yang kehilangan kaki kanannya. Seorang laki-laki muda yang belum genap berusia 20 tahun yang kehilangan dua kakinya. Seorang pria berusia 30-an tahun yang kehilangan satu matanya. Seorang ibu muda yang juga kehilangan dua matanya. Karena... sebuah kecelakaan!
Coba bayangkan saudaraku! Andaikan kita yang menjadi mereka. Akankah kita tabah menghadapi musibah seperti ini? Atau... justru kita malah semakin frustasi menatap masa depan kita?
Tetapi tidak saudaraku. Sejatinya ini bukan musibah seperti yang kita bayangkan. Ini justru merupakan hadiah yang diberikan oleh-Nya sebagai bentuk kasih sayang-Nya Yang Maha Besar.
Rasulullah SAW bersabda, “Apabila Allah mencintai pada suatu kaum, maka Allah memberi cobaan kepada mereka. Maka barangsiapa bershabar, dia mendapatkan (pahala) keshabaran itu. Dan barangsiapa berkeluh kesah, ia mendapatkan keluh kesah itu”. [HR. Ahmad]
Sedang Allah berfirman, "Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena keshabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya," [QS. Al-Furqaan : 75]
Kita mungkin tak bisa berjalan seperti dulu lagi. Kita mungkin tak bisa melihat seperti dulu lagi. Tetapi, bukankah dunia hanya sementara? Allah hanya menguji kita untuk waktu yang tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan waktu yang ada di akhirat kelak.
Dan alangkah beruntungnya mereka yang senantiasa menetapi kesabaran dalam menerima segala ujian dari-Nya. Dan bersyukurlah, jika sampai detik ini, kita masih dianugrahi bagian raga yang utuh nun sempurna oleh-Nya. Syukurilah akan nikmat sehat yang diberikan oleh-Nya kepada kita. Mensyukuri dengan memanfaatkan waktu ini pada jalan yang diridhai-Nya.
*Didedikasikan untuk mereka, yang hanya saya tahu lewat cerita... Seorang ibu di Gunung Kidul beserta menantunya yang juga menjadi korban, seorang ibu di Solo, dan seorang ikhwan di Pacitan dan di RS Kustati, semoga Allah memberi kesabaran untuk mereka...
Minggu, 21 November 2010
Selasa, 09 November 2010
Jangan Sepelekan Sesuatu yang (Kita Nyana) "Kecil"
Satu ketika seseorang berkata yang kurang lebihnya adalah seperti ini,"Satu orang asal berkualitas itu lebih baik ketimbang banyak orang tapi tidak berkualitas."
Kawan, marilah kita kaji lebih mendalam lagi dengan hati yang legowo. Saya mengibaratkan satu orang dengan satu lidi. Lidi tersebut memang bagus dari segi tampilan, panjang pula dan tanpa ada --kalau dari kota asal saya sih dikenal dengan istilah ini (tapi, apa iya ya, kata ini dari kota asal saya? :D)-- krekepen (ini kalau bahasa Indonesianya apaan ya? Ya pokoknya mulus dah, maaf kalau keliru :D). Tetapi, jika ini hanya satu lidi, mampukah ia digunakan untuk menyapu?
Jelas, tidak bisa bukan? Mending pakai tangan, ketimbang pakai lidi yang hanya satu itu. Nah, itulah ibaratnya.
Bagaimanapun, satu orang meskipun katanya berkualitas tinggi sekalipun, takkan mampu melaluinya sendiri. Maka, jangan sepelekan mereka yang katanya tidak berkualitas itu.
Pernah beberapa kali, saya mengajak orang untuk berdiskusi untuk bahasan tertentu. Awalnya saya hampir menyangsikannya, karena memang bahasan yang didiskusikan berbeda dengan bidang yang ditekuninya.
Tetapi apa yang saya petik dari ini, kawan? Saya justru mendapat ide yang tidak biasa darinya, dari seseorang yang hampir saya berpikir, kemungkinan besar ia tidak bisa memberi kontribusi besar dalam diskusi ini (yah, kasarnya sih hanya sebatas formalitas ikut-ikutan saja).
Maka, jangan menyepelekan pada sesuatu yang mulanya kita anggap enteng, remeh, kecil dsb. Bahkan, seorang cleaning servise pun, jika ia tidak ada, akan menghambat kerja kita juga. Lantai, kaca, dsb yang belum bersih, membuat semangat kerja kita akan luntur juga. Demikian pula dengan sosok-sosok lainnya yang kita berpikir, kurang memberi kontribusi besar.
Karena semua mempunyai tugas masing-masing yang kesemua itu sangat menentukan dalam mencapai satu tujuan yang sama. Lidi yang banyak (meski ada bagian yang krekepen sekalipun) akan mampu membuang sampah-sampah yang bertebaran. Sementara satu lidi yang super kualitas tinggi tersebut, mampukah ia?
Ingatlah, kita semua sama di hadapan-Nya, kaya atau miskin, tampan atau cantik, berkelas atau yang tinggal kelas atau bahkan tidak dapat kelas. Karena Allah berfirman, "...Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu..." [QS Al Hujuraat 13]
Hargailah kerja keras mereka meskipun mereka hanya menghasilkan sesuatu yang mulanya kita anggap enteng, remeh, kecil nun mungil itu. Allah SWT saja menghargai amal kebaikan hamba-Nya meski hanya seberat zarrah. "Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya." [QS Al Zalzalah 7]
Bagaimana dengan kita, pantaskah kita menyepelekan mereka, sementara Allah menghargai amal kebaikan hamba-Nya meski hanya seberat zarrah? Sedang Allah berfirman, "...Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri," [QS.Al Hadiid 23]
Dan jika kita memang mendapati kekurangan mereka dalam menyelesaikan tugas tertentu, maka sudah menjadi kewajiban kita membimbing mereka agar lebih baik lagi. Bukan malah mencerca, tanpa memberikan solusi dan bimbingan.
Semoga bermanfaat. :)
*Tulisan ini sengaja dibuat merakyat, karena kita memang rakyat :)
Kawan, marilah kita kaji lebih mendalam lagi dengan hati yang legowo. Saya mengibaratkan satu orang dengan satu lidi. Lidi tersebut memang bagus dari segi tampilan, panjang pula dan tanpa ada --kalau dari kota asal saya sih dikenal dengan istilah ini (tapi, apa iya ya, kata ini dari kota asal saya? :D)-- krekepen (ini kalau bahasa Indonesianya apaan ya? Ya pokoknya mulus dah, maaf kalau keliru :D). Tetapi, jika ini hanya satu lidi, mampukah ia digunakan untuk menyapu?
Jelas, tidak bisa bukan? Mending pakai tangan, ketimbang pakai lidi yang hanya satu itu. Nah, itulah ibaratnya.
Bagaimanapun, satu orang meskipun katanya berkualitas tinggi sekalipun, takkan mampu melaluinya sendiri. Maka, jangan sepelekan mereka yang katanya tidak berkualitas itu.
Pernah beberapa kali, saya mengajak orang untuk berdiskusi untuk bahasan tertentu. Awalnya saya hampir menyangsikannya, karena memang bahasan yang didiskusikan berbeda dengan bidang yang ditekuninya.
Tetapi apa yang saya petik dari ini, kawan? Saya justru mendapat ide yang tidak biasa darinya, dari seseorang yang hampir saya berpikir, kemungkinan besar ia tidak bisa memberi kontribusi besar dalam diskusi ini (yah, kasarnya sih hanya sebatas formalitas ikut-ikutan saja).
Maka, jangan menyepelekan pada sesuatu yang mulanya kita anggap enteng, remeh, kecil dsb. Bahkan, seorang cleaning servise pun, jika ia tidak ada, akan menghambat kerja kita juga. Lantai, kaca, dsb yang belum bersih, membuat semangat kerja kita akan luntur juga. Demikian pula dengan sosok-sosok lainnya yang kita berpikir, kurang memberi kontribusi besar.
Karena semua mempunyai tugas masing-masing yang kesemua itu sangat menentukan dalam mencapai satu tujuan yang sama. Lidi yang banyak (meski ada bagian yang krekepen sekalipun) akan mampu membuang sampah-sampah yang bertebaran. Sementara satu lidi yang super kualitas tinggi tersebut, mampukah ia?
Ingatlah, kita semua sama di hadapan-Nya, kaya atau miskin, tampan atau cantik, berkelas atau yang tinggal kelas atau bahkan tidak dapat kelas. Karena Allah berfirman, "...Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu..." [QS Al Hujuraat 13]
Hargailah kerja keras mereka meskipun mereka hanya menghasilkan sesuatu yang mulanya kita anggap enteng, remeh, kecil nun mungil itu. Allah SWT saja menghargai amal kebaikan hamba-Nya meski hanya seberat zarrah. "Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya." [QS Al Zalzalah 7]
Bagaimana dengan kita, pantaskah kita menyepelekan mereka, sementara Allah menghargai amal kebaikan hamba-Nya meski hanya seberat zarrah? Sedang Allah berfirman, "...Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri," [QS.Al Hadiid 23]
Dan jika kita memang mendapati kekurangan mereka dalam menyelesaikan tugas tertentu, maka sudah menjadi kewajiban kita membimbing mereka agar lebih baik lagi. Bukan malah mencerca, tanpa memberikan solusi dan bimbingan.
Semoga bermanfaat. :)
*Tulisan ini sengaja dibuat merakyat, karena kita memang rakyat :)
Jumat, 29 Oktober 2010
Yuk, Hormati Kedua Orang Tua Kita!
Dalam satu kesempatan, penulis sempat menangkap pembicaraan dua orang ibu yang berkata, “Cah saiki karo cah ndek biyen ki bedho, ngidap-ngidapke tenan (anak sekarang dengan anak yang dulu itu beda, menjengkelkan sekali –kurang lebih maksudnya seperti itu- :) ). Penulis juga tidak tahu pasti, bagaimana sebetulnya anak jaman dulu itu, kecuali hanya mengetahuinya lewat pelajaran sejarah saja :).
Tetapi jika kita coba melihat lebih jauh lagi, bagaimana sikap dan perilaku anak jaman sekarang memang sangat memprihatinkan. Entah ini bisa mewakili anak jaman sekarang atau tidak, tetapi seringkali penulis tak sengaja mendapati akan kurangnya anak yang menghormati pada kedua orang tua mereka. Misalnya, sopan santun dalam berbicara kepada kedua orang tua.
Ini dia yang membuat saya pribadi ngelus dada. Ketika ada anak yang baru lulus SMA tahun kemarin berkata kepada ayahnya, menggunakan sapaan “kowe” –berarti kamu- ketika menyapa. Tentu dalam konteks bahasa Jawa, kata sapaan tersebut tidak pantas diucapkan kepada yang lebih tua, apalagi itu orang tua yang telah melahirkannya.
Ketika penulis menegurnya, ia malah beralasan, katanya sungkan bila mengubah gaya bicaranya karena sudah jadi kebiasaan.
Lain cerita lagi ketika ada seorang anak SMP yang baru duduk kelas 8 meminta dibelikan sepeda motor. Meskipun kedua orang tuanya bekerja sebagai kuli serabutan, namun karena sang anak memaksa, akhirnya mereka membelikan juga walaupun dengan kredit. Setelah dibelikan, sang ayah berpesan kepada sang anak, untuk tidak memodifikasi motor yang telah dibeli dengan susah payah itu. Tetapi apa yang terjadi, baru juga diwanti-wanti, e... malah si anak tersebut justru melakukan yang dilarang oleh ayahnya.
Ini hanya sebagian contoh saja. Di luar itu, masih banyak cerita lain yang tak kalah ngidap-ngidapke tenan :). Yah, memang dua contoh diatas usianya masih relatif belia. Namun, bukan lantas karena belia ini dimaklumi. Karena mendidik anak tidak mungkin dimulai ketika mereka sudah besar, bukan?
Jelas, sikap mereka yang demikian tidak mungkin disenangi oleh para orang tua, siapapun dia. Semua orang tua pastilah akan senang jika dihormati. Mereka akan bangga jika mempunyai anak yang berbakti kepada mereka. Lain halnya dengan sikap diatas, tentu akan membuat susah mereka.
Dari Ali Karramallaahu wajhah, ia berkata : Rasulullah Saw telah bersabda, “Barangsiapa yang membuat susah kedua orang tuanya maka sungguh ia telah durhaka kepadanya.” [Ibnul Khotib]
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata : Seorang laki-laki datang kepada Nabi Saw berbaiat untuk berhijrah, sedang ia meninggalkan kedua orang tuanya dalam keadaan menangis. Maka Nabi Saw bersabda, “Kembalilah kepada keduanya, dan buatlah keduanya tertawa sebagaimana kamu telah membuat keduanya menangis. [HR Bukhari dalam Adabul Mufrad hal 27]
Sedang Allah juga berfirman, “..dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” [QS Al Israa’ 23]
Maka, saudaraku... mari, kita bersama menghormati kedua orang tua kita. Jangan harap, kita akan dihormati oleh anak-anak kita, sedang kita sendiri tidak menghormati kedua orang tua kita.
Dari Ibnu ‘Umar RA ia berkata : Berbaktilah kepada ibu bapakmu maka anak-anakmu akan berbakti kepadamu. Jagalah kehormatan dirimu maka istri-istrimu pun akan menjaga kehormatan dirinya.” [HR Thabrani dengan isnad yang hasan]
Semoga bermanfaat.
*Referensi dari brosur kajian Ahad Pagi, 2 September 2001 “Halal Haram dalam Islam ke-50” dan brosur kajian Ahad Pagi, 23 September 2001 “Halal Haram dalam Islam ke 51”
Tetapi jika kita coba melihat lebih jauh lagi, bagaimana sikap dan perilaku anak jaman sekarang memang sangat memprihatinkan. Entah ini bisa mewakili anak jaman sekarang atau tidak, tetapi seringkali penulis tak sengaja mendapati akan kurangnya anak yang menghormati pada kedua orang tua mereka. Misalnya, sopan santun dalam berbicara kepada kedua orang tua.
Ini dia yang membuat saya pribadi ngelus dada. Ketika ada anak yang baru lulus SMA tahun kemarin berkata kepada ayahnya, menggunakan sapaan “kowe” –berarti kamu- ketika menyapa. Tentu dalam konteks bahasa Jawa, kata sapaan tersebut tidak pantas diucapkan kepada yang lebih tua, apalagi itu orang tua yang telah melahirkannya.
Ketika penulis menegurnya, ia malah beralasan, katanya sungkan bila mengubah gaya bicaranya karena sudah jadi kebiasaan.
Lain cerita lagi ketika ada seorang anak SMP yang baru duduk kelas 8 meminta dibelikan sepeda motor. Meskipun kedua orang tuanya bekerja sebagai kuli serabutan, namun karena sang anak memaksa, akhirnya mereka membelikan juga walaupun dengan kredit. Setelah dibelikan, sang ayah berpesan kepada sang anak, untuk tidak memodifikasi motor yang telah dibeli dengan susah payah itu. Tetapi apa yang terjadi, baru juga diwanti-wanti, e... malah si anak tersebut justru melakukan yang dilarang oleh ayahnya.
Ini hanya sebagian contoh saja. Di luar itu, masih banyak cerita lain yang tak kalah ngidap-ngidapke tenan :). Yah, memang dua contoh diatas usianya masih relatif belia. Namun, bukan lantas karena belia ini dimaklumi. Karena mendidik anak tidak mungkin dimulai ketika mereka sudah besar, bukan?
Jelas, sikap mereka yang demikian tidak mungkin disenangi oleh para orang tua, siapapun dia. Semua orang tua pastilah akan senang jika dihormati. Mereka akan bangga jika mempunyai anak yang berbakti kepada mereka. Lain halnya dengan sikap diatas, tentu akan membuat susah mereka.
Dari Ali Karramallaahu wajhah, ia berkata : Rasulullah Saw telah bersabda, “Barangsiapa yang membuat susah kedua orang tuanya maka sungguh ia telah durhaka kepadanya.” [Ibnul Khotib]
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata : Seorang laki-laki datang kepada Nabi Saw berbaiat untuk berhijrah, sedang ia meninggalkan kedua orang tuanya dalam keadaan menangis. Maka Nabi Saw bersabda, “Kembalilah kepada keduanya, dan buatlah keduanya tertawa sebagaimana kamu telah membuat keduanya menangis. [HR Bukhari dalam Adabul Mufrad hal 27]
Sedang Allah juga berfirman, “..dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” [QS Al Israa’ 23]
Maka, saudaraku... mari, kita bersama menghormati kedua orang tua kita. Jangan harap, kita akan dihormati oleh anak-anak kita, sedang kita sendiri tidak menghormati kedua orang tua kita.
Dari Ibnu ‘Umar RA ia berkata : Berbaktilah kepada ibu bapakmu maka anak-anakmu akan berbakti kepadamu. Jagalah kehormatan dirimu maka istri-istrimu pun akan menjaga kehormatan dirinya.” [HR Thabrani dengan isnad yang hasan]
Semoga bermanfaat.
*Referensi dari brosur kajian Ahad Pagi, 2 September 2001 “Halal Haram dalam Islam ke-50” dan brosur kajian Ahad Pagi, 23 September 2001 “Halal Haram dalam Islam ke 51”
Rabu, 15 September 2010
"Tak Berharap Berumur Panjang"
Yah, inilah yang diucap oleh seseorang, di belakang saya, ketika melihat seorang nenek renta yang tak lagi energic seperti masa produktifnya dulu. Tak jauh berbeda dengannya, sayapun berpikiran sama.
Bayangkan, untuk menapak beberapa meter selepas turun dari mobil, ia sangat sempoyongan. Dengan dipapah oleh sang sopir, mendapat bantuan dari menantunya dan sedikit bantuan dari saya, ia berjalan selangkah demi selangkah, pelan dan sangat pelan. Seakan ada batu besar yang tengah membebani pundaknya. Saking beratnya, nampak jelas keletihan yang sangat dari keriput wajahnya.
Saudaraku, diberi umur panjang adalah harapan semua orang. Dalam firman-Nya, Allah bahkan berfirman, betapa orang yang mencintai dunia mengkhayal untuk diberi umur hingga seribu tahun lagi. "Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan." [QS Al Baqarah 96]
Perlu kita ketahui saudaraku, nenek renta yang saya ceritakan tadi baru berumur sekitar 90-an tahun. Baru menginjak umur segitu saja, kekuatannya seolah sudah habis. Dan tentu, ia tak bisa lagi seenergic ketika masa mudanya dulu. Lalu, bagaimana jika menginginkan hidup seribu tahun lagi?
Ingatlah, dunia ini hanyalah sementara. Lama-lama, tanpa kita sadari, seiring berjalannya waktu di dunia ini, kekuatan raga kita perlahan akan menipis. Tak selamanya akan terus seperti ini.
Allah berfirman, "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati..." [QS Ali Imran 185]
Kita pun, satu saat nanti, entah kapan, akan menyusul mereka ke alam baka. Karena sesungguhnya tak ada yang abadi di dunia ini. Jangan sampai umur panjang yang diberikan kepada kita justru malah melenakan kita dari-Nya, terlena oleh nikmat semu duniawi, terlena oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di muka bumi ini.
"Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya." [QS Ali Imran 196-197]
Untuk itulah saudaraku, mari kita bersama memanfaatkan sisa umur yang diberi oleh-Nya ini ke jalan yang diridhai-Nya. Mari kita bersama menapak di jalan dakwah. Memulainya dari diri kita sendiri, keluarga, kerabat sekitar dan akhirnya meluas, lebih luas lagi. Karena di jalan dakwahlah, kita melangkah!
Bayangkan, untuk menapak beberapa meter selepas turun dari mobil, ia sangat sempoyongan. Dengan dipapah oleh sang sopir, mendapat bantuan dari menantunya dan sedikit bantuan dari saya, ia berjalan selangkah demi selangkah, pelan dan sangat pelan. Seakan ada batu besar yang tengah membebani pundaknya. Saking beratnya, nampak jelas keletihan yang sangat dari keriput wajahnya.
Saudaraku, diberi umur panjang adalah harapan semua orang. Dalam firman-Nya, Allah bahkan berfirman, betapa orang yang mencintai dunia mengkhayal untuk diberi umur hingga seribu tahun lagi. "Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan." [QS Al Baqarah 96]
Perlu kita ketahui saudaraku, nenek renta yang saya ceritakan tadi baru berumur sekitar 90-an tahun. Baru menginjak umur segitu saja, kekuatannya seolah sudah habis. Dan tentu, ia tak bisa lagi seenergic ketika masa mudanya dulu. Lalu, bagaimana jika menginginkan hidup seribu tahun lagi?
Ingatlah, dunia ini hanyalah sementara. Lama-lama, tanpa kita sadari, seiring berjalannya waktu di dunia ini, kekuatan raga kita perlahan akan menipis. Tak selamanya akan terus seperti ini.
Allah berfirman, "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati..." [QS Ali Imran 185]
Kita pun, satu saat nanti, entah kapan, akan menyusul mereka ke alam baka. Karena sesungguhnya tak ada yang abadi di dunia ini. Jangan sampai umur panjang yang diberikan kepada kita justru malah melenakan kita dari-Nya, terlena oleh nikmat semu duniawi, terlena oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di muka bumi ini.
"Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya." [QS Ali Imran 196-197]
Untuk itulah saudaraku, mari kita bersama memanfaatkan sisa umur yang diberi oleh-Nya ini ke jalan yang diridhai-Nya. Mari kita bersama menapak di jalan dakwah. Memulainya dari diri kita sendiri, keluarga, kerabat sekitar dan akhirnya meluas, lebih luas lagi. Karena di jalan dakwahlah, kita melangkah!
Sabtu, 22 Mei 2010
Dilema antara dua kata, lembah dan gunung!
Gunung, ia memang elok. Kita melihatnya demikian bukan? Dari posisi kita yang rendah, kita bisa dengan mudah melihatnya, takjub. Kita pun berkhayal asal, “Betapa menyenangkannya menjadi sebuah gunung. Punya ketinggian, kokoh, besar sekaligus jadi pusat perhatian oleh berjuta pasang orang.”
Tetapi tidak, ada sesuatu yang riskan andaikan kita sebuah gunung. Lihat!
Saat kita diam, lembah-lembah yang berada di bawah kontan menuduh kita angkuh! Kita disebut sebagai orang yang congkak, sombong lagi merendahkan para lembah karena ketinggian dan kekokohan kita.
Padahal, kita diam, tak menyapa, karena kita takut, kita salah menyapa. Kita juga takut, sapaan kita justru akan mengganggu mereka. Seperti ketika kita akan menyapa mereka dengan muntahan abu vulkanik. Oh, tragis! Sapaan kita justru diartikan sebagai sebuah kemudharatan. Bahkan, terang-terangan kita diberi status, “Waspada, Siaga hingga Awas! (untuk dijauhi)” Kitapun menjadi bahan pergunjingan di media massa, tiada henti.
Merupakan kesalahankah jika sapaan kita berupa muntahan abu vulkanik? Padahal hanya inilah, kita bisa menyapa mereka, dengan mengandung manfaat di kemudian hari.
Kita mencoba mencari cara lain untuk menyapa mereka. Kita berniat untuk menyapa lembah dengan longsoran tanah dari bagian kita. Oh, malang! Sapaan kita justru menjadikan bencana bagi mereka. Padahal, kita hanya berniat untuk menyatu dengan mereka.
Bagaimana ini? Padahal kita selalu berpikir, kita sama dengan mereka, sama-sama sebuah lembah. Hanya pandangan mereka yang melihat, seolah kita adalah gunung.
Oh, yah! Kita harus melakukan penyamaran! Bagaimana jika kita meletakkan kata yang biasa mengiringi gunung? Yah, kita biasa menaiki gunung. Bagaimana jika kata “naek” diketemukan dengan “lembah”, seperti halnya penyamaran yang akan kita lakukan?
Oh, tidak! Para lembah dan gunung salah mengartikan. Mereka langsung protes habis-habisan. Bahkan, kita disebut sebagai sosok yang aneh, dungu (karena pernyanaan mereka yang menyebut kita tak tahu jika lembah hanya bisa dituruni) atau bahkan kita terlalu mengada-ada (bermimpi yang tidak mungkin menjadi kenyataan).
Padahal, tidak! Kita tak bermaksud demikian. Kita juga tak pernah bermimpi untuk mengubah sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Menaiki lembah sungguh tidak mungkin. Meski sebagian dari mereka, menaiki lembah itu adalah mungkin (jika sebelumnya menuruni lembah, lalu kita naik ke atas lagi).
Tidak! Apapun yang terjadi, lembah yang curam tak mungkin kita naiki. Meski kita harus menaiki di bagian yang masih disebut lembah, ini bukan lantas kita menaiki lembah. Kita hanya menaiki sebuah tempat yang lebih tinggi.
Lalu apa sebetulnya maksud kita? Ini tak lain karena dilema dua kata diatas, lembah dan gunung! Inilah yang menjadi masalah besar dari persangkaan para lembah dan gunung yang salah menyana. Jika kita mengenal dua kata yang bernada dan berhuruf sama, namun berarti lain, inilah yang sesungguhnya kita usung. Bernada dan (mungkin) berhuruf sama, tapi berbeda makna.
Semoga dari kisah kiasan ini, akan menjadikan kita lebih bijak lagi, kawan. Kisah kiasan diatas sudah pasti banyak kita jumpai di dunia nyata. Inilah kebanyakan manusia, termasuk saya, dan kalian semua, banyak ditipu oleh ‘penglihatan sepintas’ tanpa meninjaunya. Semoga bermanfaat.
*SEJUMPUT DARI SEGUDANG NAMA (YANG KATANYA) ANEH INI. :)
Share
Sabtu, 01 Mei 2010
Ujian Kesabaran, Ibarat Menanti Hujan Reda
Di saat menanti hujan reda, apa yang biasa dirasakan orang? Terasa lama? Mungkin. Hujan mengguyur selama tiga puluh menit saja serasa tiga puluh jam lamanya atau mungkin malah lebih. Inilah rasanya ujian kesabaran itu.
Banyak orang mengatakan, kesabaran ada batasnya. Bila ujian kesabaran diibaratkan dengan menanti hujan reda, apakah orang akan menumpahkan kekesalan itu pada rintik-rintik air hujan yang tengah menerpa bumi? Sedang hujan hanyalah merupakan makhluk ‘pendiam’ yang tidak akan mungkin menghiraukan rintihan kekesalan orang. Ia mengguyur ke bumi atas perintah-Nya. Tak peduli orang mengeluh kesal kepadanya, atau bahkan memaki akan kedatangannya yang tak kunjung pergi.
Sayangnya, hujan terlalu biasa untuk dikeluhkan orang. Di awal kedatangannya, orang akan nyeletuk berujar, “Yah… hujan deh!” Disadari atau tidak, kalimat pertama yang muncul ini sudah menunjukkan betapa awal ujian kesabaran itu sudah terpatahkan oleh rasa tidak bersyukurnya akan turunnya nikmat hujan.
Belum lagi di benaknya masih membayangkan bagaimana nasib jemuran bajunya di rumah. Sudah pasti akan basah kuyub, setelah sebelumnya tak sempat ‘diselamatkan’ dari guyuran air hujan. Terbetik pula bagaimana nasib kendaraannya yang berkilau lantaran baru dicuci kemarin sore, lagi-lagi harus terkena cipratan air hujan yang bercampur tanah. Al hasil, kotorlah sudah.
Ini baru contoh sederhana, belum contoh-contoh lain yang amat menguji kesabaran. Misalnya ketika urusan duniawi yang menurutnya sangat urgen untuk segera dikerjakan, namun terpaksa harus tertunda lantaran hujan.
Di saat air hujan semakin deras mengguyur, tak kunjung reda, saat inilah kesabaran orang benar-benar berada di titik kulminasi. Terbayang di benaknya, berapa kerugian yang didapat karena urusan duniawinya banyak yang terbengkalai. Saat itu juga, emosi kian tak terbendung. Umpatan-umpatan kekesalan pun keluar dari mulutnya. Dihardiklah hujan, sebagai pelampiasan kekesalan, seolah hujan adalah makhluk serupa dengannya.
“Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.”(QS Al A’raaf 57)
Hujan diturunkan sebagai pembawa berita gembira, namun yang terjadi justru malah sebaliknya. Orang malah berkeluh kesah dengan hadirnya hujan. Tak ada sedikit rona bahagia di rautnya lantaran datangnya hujan tengah menghambat urusan duniawinya. Tidak tahukah orang, untuk apa hujan diturunkan?
“Dan Allah menurunkan dari langit air (hujan) dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang mendengarkan (pelajaran).” (QS An-Nahl 65)
Bayangkan jika hujan tidak diturunkan ke bumi, tidak akan mungkin ada kehidupan di sini. Bumi akan mengering, dan semua makhluk hidup akan mati. Dalam ayat lain Allah juga berfirman.
“Dia-lah, Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu.” (QS An-Nahl 10)
Hujan yang membawa berkah, menghidupkan serta menyuburkan tanaman-tanaman yang hijau lagi banyak buahnya. Inilah ibarat ujian kesabaran itu, layaknya menanti hujan reda. Menanti memerlukan kesabaran yang teramat berat, terlebih ketika harus merelakan hal-hal yang menyangkut duniawi.
Hujan yang dinyana sebagai penghambat pada urusan duniawi, sesungguhnya merupakan berkah dari-Nya. Kehadirannya akan menghijaukan tanaman hingga menghasilkan buah yang ranum, menghasilkan mata air yang jernih yang sangat bermanfaat bagi semua makhluk yang hidup di bumi ini.
Demikian halnya dengan ujian kesabaran itu. Meski dinyana sebagai sesuatu yang pahit dirasa, atau bahkan berat didaki, namun sesungguhnya Allah akan menghadiahi surga bagi para hamba-Nya yang sabar.
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (QS Ali Imran 142)
Ujian dari Allah tak hanya berupa kesedihan, tapi juga mencakup kebahagiaan. Sayangnya, ketika orang diuji dengan kebahagiaan, orang lupa jika itu hanyalah sebuah ujian. Ketika mendapat kebahagiaan, orang malah berpikir bahwa itu adalah keberuntungan. Padahal, keberuntungan di dunia ini hanyalah merupakan tipuan.
“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS Al Hadiid 23)
Seperti halnya ketika menanti hujan reda. Meski hujan mengguyur deras, tak kunjung reda, hingga menyebabkan banjir, tanah longsor ataupun bencana lainnya, kesabaran haruslah selalu ada pada jiwa tiap-tiap orang yang beriman. Bagaimanapun hujan adalah berkah dari-Nya, meski kehadirannya terkadang mendatangkan bencana, namun ini hanyalah ujian bagi para hamba-Nya agar bersyukur.
“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.” (QS An-Nisaa’ 147)
Maka bersabarlah, karena Allah beserta orang-orang yang sabar. Ujian kesabaran itu ibarat menanti hujan reda. Terasa lama untuk dinanti redanya, hingga terpikir bahwa hujan hanyalah penghambat yang banyak memberi mudharat pada urusan duniawi.
Namun, tidak bagi orang-orang yang bersabar. Ia akan memaknai hujan sebagai berkah dari-Nya, berapapun lamanya dan banyaknya curah hujan yang diturunkan. Sekalipun mendatangkan bencana, maka ia akan tetap bersabar, karena di balik ujian pastilah mengandung hikmah.
Dan semestinyalah, orang-orang yang beriman akan mengambil hikmah di balik cobaan itu. Ia akan senantiasa bersabar dan bersyukur di kala sedih ataupun bahagia. Karena segala sesuatu di dunia ini hanyalah merupakan ujian dari-Nya, agar nyatalah siapa sesungguhnya hamba-hamba-Nya yang terpilih itu. [ntz]
Share
Kamis, 25 Februari 2010
Muslimah-Muslimah Pendakwah Agama Allah, Adakah Sosok Itu Kini?
Di masa Rasulullah Saw, sosok-sosok wanita muslimah yang berjuang gigih mendakwahkan agama Allah banyak dijumpai. Bahkan, sejarah Islam mencatat bahwa sosok yang pertama kali menyambut dakwah Islam adalah seorang wanita, yaitu Khadijah binti Khuwailid, istri Rasulullah Saw. Selain Khadijah Ra masih banyak wanita-wanita Islam yang namanya abadi. Di antara mereka ada Aisyah Ra, Ummu Sulaim, Nusaibah, Sumayyah, Asma binti Abu Bakar, Shafiyyah binti Abdul Muthalib, Fathimah binti Khatab dan masih banyak wanita lain yang memegang peranan penting dalam perintisan dakwah Rasulullah Saw.
Di masa itu, peran wanita muslimah dalam jihad Rasulullah Saw amat signifikan. Meski peran mereka hanya di belakang layar, namun perjuangan mereka sangat menentukan dalam syiar Islam. Banyak tokoh-tokoh menjadi penting dan terkenal lantaran ditopang oleh peran wanita.
Lalu, jika konteksnya dialihkan ke masa sekarang, adakah sosok-sosok seperti itu kini? Yang jelas, wanita-wanita yang memegang teguh agamanya serta gigih memperjuangkan dakwah amat sangat jarang didapati di masa sekarang ini. Kenyataan justru berkata lain. Banyak dari wanita yang sebetulnya mengimani Islam, namun justru sikap dan tingkah lakunya tidak menunjukkan bahwa ia adalah seorang muslimah. Bahkan, sangat mirip dengan mereka, para wanita jahil.
Banyak juga dari wanita yang mengaku beragama Islam, namun justru enggan mengenakan busana yang mencitrakan ia sebagai seorang muslimah. Sebaliknya, mereka malah mengenakan busana yang mempertontonkan auratnya. Ironisnya, itu sudah menjadi kebanggaan bagi mereka, seolah dengan busana yang serba minim itu akan meningkatkan pamornya di mata kaum Adam.
Atau, banyak pula para muslimah yang sudah terbuka hati menutup auratnya, namun masih perhitungan dalam hal ukuran, sehingga masih memperlihatkan bentuk lekuk tubuhnya. Yang lebih memprihatinkan adalah ketika banyak dari para muslimah yang tidak bisa menjaga kehormatannya sebagai seorang muslimah, seperti halnya busana muslimah yang telah dikenakannya. Bahkan, citra muslimah justru terlunturkan oleh akhlaqnya yang bertentangan dengan Islam.
Ini baru dilihat dari pribadi para muslimah sendiri, belum dalam hal perjuangannya menyuarakan agama Allah. Yang menjadi pertanyaan, mendakwahi dirinya sendiri saja belum sepenuhnya dijalankan, bagaimana bisa mendakwahi orang lain? Jelas, potret para wanita muslimah sekarang ini tak bisa disamakan dengan para wanita muslimah di jaman Rasulullah Saw dulu. Mereka dengan gigih dan berani menyuarakan Islam. Mendukung perjuangan suaminya dalam menegakkan syariat Islam. Seperti halnya semangat juang para suaminya, mereka juga tak takut akan hantaman apapun, meski nyawa taruhannya.
Bagaimana dengan sekarang? Jangankan berani mempertaruhkan nyawa, hanya mendapat cercaan yang tidak mengenakan saja sudah langsung patah arang. Apalagi bila harus dikucilkan, bisa-bisa ia malah berbalik arah dari jalan yang dirahmati Allah.
”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS An-Nahl 125)
Kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah adalah mendakwahkan agama Allah, menyeru manusia kepada jalan yang diridhai Allah, menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mengerjakan yang mungkar. Dalam berdakwah, kita dituntunkan untuk menggunakan cara yang baik, tidak dengan cara kekerasan. Menyeru dengan cara yang hikmah, dimana hikmah disini diartikan sebagai perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.
Biarpun dalam kenyataannya orang yang kita dakwahi masih tetap dalam kesesatan, maka tidak ada tanggung jawab bagi kita untuk memikul dosa mereka, karena kewajiban kita hanyalah berdakwah (lihat QS Al-An’am 69). Sayangnya, bagi kebanyakan orang, khususnya para muslimah sendiri, akan menjadi gengsi ketika ia harus menegakkan syariat Islam. Apalagi ketika ia dianggap asing di lingkungannya. Bagi muslimah yang usianya relatif muda, tentu menjadi taruhan besar ketika ia harus dijauhi oleh teman-temannya, karena ketidakbiasaannya mempertahankan prinsip agama.
Pendukung yang Menentukan
Peran wanita dalam berdakwah, tentu tak sepenuhnya sama dengan laki-laki. Bagaimanapun, laki-laki diciptakan untuk menjadi pemimpin bagi wanita sebagaimana Allah jelaskan itu dalam QS An-Nisaa’ 34, ”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)...”
Pun demikian, para wanita muslimah tetap berperan penting dalam menyuarakan agama Allah, karena kewajiban berdakwah tak hanya dibebankan kepada kaum laki-laki muslim saja. Hanya saja, peran para wanita muslimah ini adalah sebagai pendukung di belakang layar, namun menentukan dalam perjuangan dakwah.
Jika di jaman Rasulullah Saw, ketika para suami berjihad di medan perang, maka peran istri adalah mendukung sepenuhnya suami mereka dalam menegakkan syariat Islam. Menjadi kebahagian yang tiada tara ketika mendapati suami mereka mati dalam keadaan syahid.
Demikian halnya dengan masa sekarang, seorang istri yang shalihah akan sepenuhnya mendukung suaminya dalam menyuarakan agama Allah. Tidak ada rasa berat di hati ketika waktu untuk keluarganya menjadi terkurangi lantaran suaminya sibuk berdakwah atau sibuk dalam aktifitas lain yang ditunaikan lantaran mengharap keridhaan dari Allah. Sebagai istri, ia harus serta merta menjaga diri ketika suaminya tidak ada di rumah. Ia juga harus berperan penting dalam mendidik putra-putrinya agar kelak menjadi anak yang shalih dan shalihah. Jika diijinkan oleh suami, istri juga bisa berdakwah kepada para wanita muslimah lain, melalui kajian khusus muslimah ataupun dalam forum lainnya.
Ini jika konteksnya sudah berkeluarga, bagi yang belum berkeluarga, para wanita muslimah tetap bisa ambil peran dalam mendukung perjuangan dakwah Islam. Misalnya berdakwah di lingkungan sekitar seperti di sekolah, kampus, tempat kerja atau lingkungan sekitar lainnya. Tak hanya itu, para wanita muslimah juga bisa berdakwah dengan memanfaatkan bidang-bidang yang dikuasainya.
Kehadiran internet juga bisa dimanfaatkan untuk berdakwah. Situs jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter yang banyak dicari lantaran minim karakter bisa disulap dengan kutipan-kutipan ayat-ayat Al-Qur’an, hadits Rasulullah ataupun untaian kata yang sarat akan hikmah. Yang jelas, ada banyak cara untuk menyuarakan agama Allah.
Pun begitu, mendakwahi pada pribadi sendiri adalah hal yang paling utama dilakukan. Seorang wanita muslimah haruslah mencitrakan dirinya sebagai hamba-Nya yang tetap berpegang teguh pada agama Allah.
Citrakan itu lewat busana muslimah yang dikenakan sesuai tuntunan dan sekaligus ditunjang pula dengan akhlaqul karimah. Jangan sampai citra sebagai seorang wanita muslimah ini justru menjadikan fitnah lantaran sikap dan tingkah lakunya yang menyimpang dari ajaran-Nya. Ini dilakukan semata-mata dalam rangka memperjuangkan agama Allah.
Tak perlu takut jika harus mendapat cercaan dari orang, atau bila harus dijauhi oleh khalayak orang, karena Allah selalu membersamai dalam tiap langkah hamba-Nya.
”Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS Muhammad 7)
Allah tidak mungkin memungkiri janji-Nya. Allah tidak akan membiarkan para hamba-Nya terlunta karena dikucilkan atau bahkan diusir sekalipun. Jika harus dikucilkan atau diusir, Allah pasti akan mempertemukannya dengan saudara-saudara semuslim yang mempunyai tekad yang sama, hidup bersama dalam jamaah. Semangat berjuang, wahai para wanita muslimah, dan jadilah seorang pendukung dakwah di belakang layar yang menentukan! (ntz)
Label:
jarang,
menentukan,
muslimah,
pendakwah,
pendukung
Jumat, 22 Januari 2010
Salah Kaprahnya Insan Dunia Memaknai Cinta
Berbicara soal cinta, pasti sangat erat kaitannya dengan dua insan dari turunan Adam dan Hawa tengah dihantam oleh perasaan yang menggelora. Tidak heran, para pujangga cinta terjebak dalam kungkungan panah asmara. Ada di antara mereka menjadikannya sebagai cinta sejati, cinta untuk pertama dan terakhir kalinya, hingga sosoknya seolah tak bisa tergantikan oleh siapapun dan sampai kapanpun. Wow, sangat ironis bukan?
Atas nama cinta, tak sedikit para pujangga cinta rela mengorbankan dirinya untuk sang pujaan hati, bahkan sampai yang dilarang agama pun rela dilakukan. Tidak hanya itu, ketika yang dicinta telah tiada, ia bahkan rela bila harus mengakhiri hidup demi sang kekasih.
Yah, inilah fakta dari salah kaprahnya insan dunia memaknai cinta. Pacaran diartikan sebagai proses peleburan dari makna cinta. Tentu saja sebelum menapak ke taraf ‘jadian’ (pacaran) diawali dengan sebuah pendekatan. Mulanya mungkin hanya sekedar menebar pesona lewat sms, chatting, facebook, twitter dan lain sebagainya. Rupanya pepatah Jawa “witing tresno jalaran soko kulino” justru menjadikan dua insan turunan Adam dan Hawa itu semakin dihinggapi “virus merah jambu”.
Singkat cerita, cinta itupun diungkapkan dan dibalas suka cita oleh yang bersangkutan. Mereka pun telah ‘jadian’. Setelah ‘jadian’, berhentikah sebuah hubungan itu? Rasanya, ada yang kurang jika sebuah ungkapan perasaan itu hanya dilabuhkan pada taraf ‘jadian’ saja. Perlu dicatat, syaitan paling lihai menghasut manusia. Sudah sejak kali pertama perasaan cinta itu datang, syaitan sudah membelenggu manusia dalam tipu dayanya. Tentu saja, setelah ‘jadian’, syaitan akan kian membisiki manusia untuk melakukan yang lebih dari itu.
Dan first date pun dijadwalkan di malam Minggu. Dipilihlah tempat sepi di sebuah taman di pinggiran kota. Berhentikah sampai di sini? Jelas, tidak hanya berhenti sampai di sini saja. Duduk berdekatan, tangan pun mulai beraksi. Digenggam erat tangan halus si pujaan hati. Perlu diketahui, ini hanya untuk kencan pertama, belum kencan kedua, ketiga atau bahkan kesekian kalinya. Bisa dipastikan, syaitan tidak akan mungkin membiarkan mereka melakukan itu-itu saja, melainkan lebih dan lebih. Inikah makna cinta itu bagi mereka, para pujangga cinta?
Bagaimana Islam Memandangnya?
Mencintai seseorang yang berbeda jenis itulah seyogyanya manusia. Sudah sewajarnya manusia yang berbeda jenis tertarik satu dengan yang lain. “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita…” (QS Ali Imran 14)
Dalam QS An-Najm 45 Allah juga menjelaskan, “Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita.”
Sebaliknya, Allah justru melarang manusia yang tidak merasakan cinta pada seseorang yang lawan jenis dan mengalihkan perasaan cinta itu pada kaum sejenis. Bahkan, dalam QS An-Naml 55 Allah menanyai mereka yang mencintai sejenis, “Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu)."
Dan Allah pun melaknat mereka sebagaimana dijelaskan pada ayat 58, “Dan Kami turunkan hujan atas mereka (hujan batu), maka amat buruklah hujan yang ditimpakan atas orang-orang yang diberi peringatan itu.”
Lalu, apa salahnya bila insan dunia mencintai seseorang yang dicintainya? Umumnya, perasaan cinta ditorehkan dalam sebuah ikatan hubungan yang bertentangan dengan syariat Islam. Menjalin hubungan dalam hal ini pacaran, sebagai tahap penjajagan hubungan sebelum menapak ke gerbang pernikahan.
Jelaslah, pacaran dalam Islam tidak dituntunkan. Dalam Al-Qur’an saja Allah memerintahkan kepada laki-laki dan wanita yang beriman untuk menahan pandangannya (lihat QS An-Nuur 30-31). Rasulullah Saw bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan perempuan (bukan mahram) karena yang ketiganya adalah syaitan.” (HR Abu Dawud)
Lalu, bagaimana bisa menggenggam tangan si pujaan hati sedang Rasulullah Saw bersabda, “Sungguh ditusuknya kepala salah seorang diantara kalian dengan jarum dari besi lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya." (HR Thabrani)
Pacaran, meski belum sampai melakukan zina, adalah merupakan bentuk hubungan yang tidak halal yang bisa mendekatkan pada zina. Sedang Allah melarang para hamba-Nya mendekati zina.
”Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS Al Israa’ 32)
Mendekati zina saja sudah dilarang, apalagi sampai melakukan zina. Nau’udzubillah min dzalik. Lalu, apa yang harus kita lakukan sebagai seorang Muslim dan Muslimah dalam hal memaknai cinta?
Memilihnya karena Mencintai-Nya
Inilah sebuah kalimat yang Insya Allah akan menyelamatkan kita dari ancaman pergaulan yang menjerumuskan kita ke jurang neraka. Coba pahami kalimat berikut, ”Saya memilihnya karena saya mencintai-Nya.”
Pengungkapan kata ’memilih’ di sini dimaksudkan untuk menghindarkan kita dari jebakan salah kaprahnya memaknai cinta, karena sejatinya cinta hanyalah untuk-Nya semata. Kata ’memilih’ juga dimaksudkan untuk tidak melulu beralasan lantaran ada rasa cinta atau tidak cinta kepada seseorang ketika hendak membina mahligai rumah tangga. Dan dia kita pilih karena kita mencintai-Nya. Karena mencintai-Nya lah kita akan memilih pasangan hidup yang akan mendekatkan kita pada-Nya, bukan malah menjauhkan kita dari-Nya.
Penggalan kalimat ’saya memilihnya’ menunjukkan bahwa pengungkapan kalimat ini tidak semena-mena diungkapkan begitu saja. Kalimat ini dipilih karena untuk mengungkapkannya perlu seorang perantara. Lalu, ketika kita sudah berada dalam koridor yang dihalalkan, saat itu kita bisa mengungkapkannya dalam sebuah kalimat berikut ini, "Saya mencintaimu karena Allah."
Pengungkapan kata 'mencintaimu', karena kalimat ini sudah boleh diungkapkan secara langsung kepadanya. Dan kata 'cinta' disini hanya sebatas rasa kasih sayang yang tidak melebihi kadar kecintaan kita kepada-Nya. Kalimat ini diungkapkan semata-mata hanya mengharap Ridha dari-Nya.
Bukankah pengungkapan cinta yang demikian, itulah cinta yang indah? Cinta diungkapkan melalui jalan yang dihalalkan oleh-Nya, yakni pernikahan. Dan itu kita lakukan tak lain karena kita mencintai-Nya, cinta sebenar-benar cinta.
Lalu, bagaimana jika seseorang belum siap melewati gerbang pengungkapan cinta yang dihalalkan ini? Rasulullah Saw bersabda, "Wahai pemuda-pemuda, barang siapa yang mampu di antara kamu, hendaknya ia menikah karena sesungguhnya pernikahan itu akan menjaga kamu dari yang tidak halal dan barang siapa yang tidak mampu menikah hendaklah ia berpuasa, puasa itu menjadi benteng". (HR Muslim)
Rasulullah Saw juga bersabda, “Orang yang cerdik adalah orang yang selalu menjaga dirinya dan beramal untuk bekal sesudah mati. Sedangkan orang yang kerdil yaitu orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya tetapi ia mengharapkan berbagai harapan pada Allah.” (HR. Tirmidzi)
Bagaimanapun menjaga dari sesuatu yang akan menyebabkan kita terjungkal ke neraka adalah hal yang harus kita lakukan. Jangan sampai gelora cinta menduakan Dia dengan si dia. Dia-lah tujuan kita hidup di dunia ini. Dia tidak akan pernah pergi meninggalkan kita sampai kapanpun. Sedang dia, apa dia akan selalu ada dalam kehidupan kita? (ntz)
*Sebuah inspirasi dari UNIC, Atas Nama Cinta
Kamis, 07 Januari 2010
Ketika Jilbab hanya Sebagai Asesoris
Seorang perempuan muda berjilbab mini tengah mengambil bolpoin yang jatuh di lantai. Secara mengejutkan, pakaian yang tak kalah mini dengan jilbabnya, terangkat ke atas hingga memperlihatkan bagian tubuhnya.
Na’udzubillahi min dzalik, jika contoh yang dilukiskan itu sudah menjadi gambaran dari muslimah-muslimah sekarang ini. Niatnya memang baik, menutup aurat yang sudah menjadi kewajiban bagi setiap muslimah. Hanya saja, seringkali aurat yang ditutup tidak sesuai dengan apa yang seharusnya dituntunkan oleh Islam.
Lihatlah, betapa banyak perempuan-perempuan yang mengaku beragama Islam, mengenakan jilbab, tetapi masih mempertontonkan bentuk lekuk tubuhnya. Salah bergerak sedikit, bagian tubuhnya bisa kelihatan. Mininya jilbab yang dikenakan seringkali malah membuat rambutnya yang panjang menjuntai keluar.
Kasus lain, ketika para ibu yang menghadiri walimahan mengenakan jilbab, namun lengan kebayanya masih transparan. Usai walimahan, biasanya mereka menanggalkan jilbab seolah-olah jilbab hanyalah sebagai asesoris untuk walimahan saja.
Sama halnya dengan para siswi atau mahasiswi yang sekolah atau kuliah di sekolah atau universitas Islam yang mewajibkan untuk mengenakan jilbab, mau tidak mau mereka harus mengenakan jilbab ketika berada di lingkungan sekolah atau kampus. Di luar itu, mereka dengan mudahnya tanpa beban membiarkan rambutnya tidak tertutup oleh jilbab.
Bahkan, ada juga sebagian mengenakan jilbab hanya karena merasa lebih cantik jika berjilbab. Rambutnya yang kurang bagus untuk diperlihatkan, terpaksa harus ditutupi. Jilbab modis yang dikenakan bisa mengalihkan penampilannya, hingga ia terlihat lebih mempesona dengan berjilbab.
Sesempit inikah makna jilbab bagi para wanita muslimah? Amat sangat disayangkan jika jilbab hanya diartikan sebagai asesoris semata.
Kewajiban Berjilbab
Perintah berjilbab terdapat dalam QS An Nuur 31, “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya…”
Dari ayat tersebut nampak jelas, bahwa setiap wanita muslimah, dalam hal ini adalah semua wanita yang mengimani agama Islam, diwajibkan mengenakan jilbab. Konteks jilbab disini tidak hanya menutup rambutnya saja, melainkan menjulurkan jilbab hingga ke bagian dadanya. Sudah pasti, jilbab yang dikenakan haruslah lebar, tidak mini dan bisa menutupi bagian-bagian tubuh yang harus dijaga.
Pakaian yang dikenakan pun harus lapang, tidak menonjolkan bagian tubuhnya. Sebagaimana halnya firman Allah dalam QS Al Ahzab 59, “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Arti ‘jilbab’ dalam ayat tersebut ialah jilbab yang sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala hingga dada. Ayat tersebut juga semakin memperjelas bahwa jilbab tak hanya digunakan untuk menutupi kepala saja (dalam artian rambut) namun juga digunakan untuk menutupi bagian tubuhnya, termasuk dada. Jika mengenakan jilbab yang mini dimana umumnya jilbab diikatkan ke leher, ini berarti tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan dalam ayat ini.
Lalu bagaimana dengan jilbab modis? Umumnya, jilbab modis kebanyakan tidak sesuai dengan apa yang dituntunkan dalam Al-Qur’an. Seringkali karena alasan modis, jilbab yang dikenakan justru meninggalkan unsur syar’i-nya. Jilbab dibuat sedemikian rupa sehingga bagian dada yang seharusnya tertutupi, justru malah kelihatan.
Bukan berarti Islam melarang para wanita muslimah untuk tampil modis. Tak ada salahnya modis, asalkan jilbab atau pakaian yang dikenakan sesuai dengan yang telah diperintahkan oleh Allah dalam QS An Nuur 31 dan QS Al Ahzab 59.
Batasan-batasan
Berjilbab tak hanya dilakukan ketika kita berada di luar rumah saja. Meskipun di dalam rumah, jika disana terdapat orang-orang yang bukan mahrom kita, maka wanita muslimah harus tetap mengenakan jilbabnya.
Soal batasan-batasan siapa saja yang memperbolehkan wanita muslimah membuka jilbabnya dijelaskan oleh Allah dalam QS An Nuur 31, “…Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
Sebagai Cermin Menjaga Hati
Terkadang orang berseloroh, “Berjilbab, kok gitu sih?” Kebanyakan masyarakat awam selalu berpikir bahwa wanita yang mengenakan jilbab diartikan sebagai orang yang kadar imannya kuat. Tidak heran jika dalam kenyataannya masih banyak didapati wanita-wanita berjilbab yang masih melakukan hal-hal yang melanggar agama, termasuk berzina (nau’dzubillah).
Fakta yang banyak terjadi di masa sekarang ini, banyak wanita yang sudah mengenakan jilbab, namun akhlaqnya tak berbeda jauh dengan mereka yang belum mengenakan jilbab, bahkan lebih parah dari mereka. Berjilbab, tapi masih hobi pacaran, berdua-duaan dengan sang kekasih entah di tempat yang sepi atau ramai. Bahkan, sudah bukan hal yang tabu lagi jika mereka saling berciuman di tempat umum. Astaghfirullah.
Pemandangan yang membuat kita tersayat ketika kita mendapati wanita-wanita berjilbab, dengan tanpa bebannya membonceng di atas sepeda motor yang ditunggangi oleh laki-laki yang bukan mahromnya. Jarak mereka begitu dekat, bahkan terlalu mepet dengan tubuh laki-laki itu. Padahal, ia sudah mengenakan jilbab.
Inilah yang membuat sebagian besar wanita-wanita yang beragama Islam enggan mengenakan jilbab. Mereka merasa belum pantas untuk menjilbabi hatinya. Mereka takut, jika mereka berjilbab nanti, mereka tidak bisa menjaga jilbabnya. Mereka lebih berpikir untuk tidak mengenakan jilbab karena takut tidak bisa menjaga akhlaqnya.
Padahal menutup aurat itu hukumnya adalah wajib bagi setiap wanita yang beriman. Siap atau tidak siap, setiap wanita muslimah diharuskan menutup auratnya. Jika merasa belum pantas menjilbabi hati, justru dengan jilbablah, kita bisa menjadikannya sebagai cermin untuk menata diri.
Karena jilbab merupakan identitas kita sebagai seorang muslimah, sebagai hamba-Nya yang taat, tentu kita akan selalu menjaga jilbab, jangan sampai jilbab yang kita kenakan justru malah menimbulkan fitnah. Nantinya, jilbab ini akan membawa kita pada perubahan sikap, tingkah laku serta perbuatan kita sehari-hari ke jalan yang diridloi-Nya.
Yah, jilbab sebagai alat untuk menjaga hati, bukan menjaga hati terlebih dulu, kemudian baru mengenakan jilbab. Karena menutup aurat hukumnya adalah wajib, maka dengan mengenakan jilbab sekaligus menjilbabi hati adalah hal yang harus kita lakukan sebagai seorang muslimah.
Tunggu apa lagi? Jangan ragu-ragu untuk mengenakan jilbab. Jadikan jilbab sebagai cermin menjaga hati dan tidak menjadikannya sebagai asesoris belaka. Keep istiqomah!!! (ntz)
Langganan:
Postingan (Atom)